Tahapan Perizinan yang Harus Dipenuhi Pengembang Properti 

“Untuk melakukan pembangunan, maka sederhananya, izin yang dibutuhkan adalah Izin Mendirikan Bangunan (IMB),” . Sebelum IMB dikantongi, pengembang harus memastikan bahwa kawasan yang akan dikembangkan memang diperuntukkan sebagai kawasan pemukiman yang tercantum dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Namun bila belum termasuk, maka dapat mengusulkan perubahan RTRW ke pemerintah daerah (pemda) untuk kemudian dibahas bersama dengan DPRD. Setelah berubah, pengembang dapat mengajukan proposal untuk memperoleh izin lokasi ke pemerintah kabupaten/kota. Nantinya, pemkab/pemkot akan meminta rekomendasi kepada pemerintah provinsi (pemprov).

Rekomendasi pemprov akan menjadi dasar bagi pemkab/pemkot dalam menerbitkan izin lokasi. Baru setelah itu pengembang mulai melakukan proses pembebasan lahan dari warga. “Setelah pembebasan tanah tuntas, pengembang dapat mengajukan permohonan hak atas tanah, pada proses ini pengembang akan memperoleh hak atas tanah induk, dalam hal ini Hak Guna Bangunan (HGB) induk,”.
Bila HGB Induk telah dikantongi, maka pengembang dapat melanjutkan ke tahap pra konstruksi. Dalam tahapan ini, ada sejumlah izin yang juga harus diajukan pengembang. Mulai dari Izin Peruntukkan Penggunaan Tanah (IPPT), Rencana Induk Tapak atau master plan, Keterangan Rencana Kota (KRK), dan Rencana Tapak atau site plan.

Kemudian, Analisa Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (amdal), Analisa Dampak Lalu Lintas (amdalalin), Izin Lingkungan, dan terakhir IMB. “Untuk apartemen, karena masuk dalam kategori rumah susun (rusun) dan tunduk pada UU tentang Rusun, ada juga syarat pertelaan yang perlu disahkan oleh pemerintah daerah, selain dari izin-izin yang telah disebutkan sebelumnya.

Pengecualian Izin Lokasi Dalam Penyiapan Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah – Hukum Properti




Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (“PP No. 64/2016”), pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (“Perumahan MBR”) dilakukan untuk luas lahan tidak lebih dari 5 (lima) hektar dan paling kurang 0,5 (nol koma lima) hektar, dengan ketentuan bahwa lokasi Perumahan MBR telah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. PP No. 64/2016 selanjutnya mengatur izin lokasi tidak diperlukan dalam penyiapan pembangunan Perumahan MBR..


Namun, pengecualian ini tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 5 Tahun 2015 tentang Izin Lokasi (“Permen Agraria No. 5/2015”), karena Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 2015 tidak mengecualikan tanah untuk pembangunan Perumahan MBR dari kewajiban izin lokasi. Izin lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh lahan yang diperlukan untuk investasinya, yang juga berlaku sebagai izin untuk pengalihan hak dan menggunakan tanah tersebut untuk melakukan investasi bisnisnya.
Untuk menyesuaikan dengan ketentuan izin lokasi dalam PP No. 64/2016, Menteri Agraria dan Tata Ruang telah mengubah Permen Agraria No. 5/2015 melalui Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 19 Tahun 2017. Berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 19 Tahun 2017, tanah yang akan digunakan untuk pembangunan Perumahan MBR tidak memerlukan izin lokasi, asalkan luas tanah tersebut tidak lebih dari 50.000 m2.

Komentar