RESTRUKTURISASI  DAN PENGHAPUSAN KREDIT MACET

RESTRUKTURISASI  DAN PENGHAPUSAN KREDIT MACET


BAB 1.

PENDAHULUAN

BAB 2.
KREDIT PERBANKAN
• Pengertian Kredit, Unsur Kredit, Fungsi Kredit
• Regulasi Perkreditan dan Pedoman 
  Perkreditan
• Perjanjian Kredit Antara Debitur dan Kreditur
• Perjanjian Kredit sebagai Perjanjian Pokok
• Perjanjian Jaminan sebagai Perjanjian 
  Tambahan
• Wanprestasi sebagai Awal Penyebab Kredit 
  Bermasalah

BAB 3. 
KREDIT BERMASALAH
• Prinsip Kehati-hatian
• Penggolongan Kredit Bermasalah
• Penyebab Kredit Bermasalah
• Penyelamatan Kredit Bermasalah
• Penyelesaian Kredit Bermasalah

BAB 4.
PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM
• Pengertian Tingkat Kesehatan Bank
• Penilaian terhadap Faktor CAMELS
• Beberapa Istilah Rasio Keuangan Faktor 
  CAMELS
• Penentuan Peringkat Komposit (PK)
  Permintaan Action Plan Langkah Perbaikan
• Penilaian terhadap Kantor Cabang Bank Asing

BAB 5. 
PENUTUP






BAB 1.


PENDAHULUAN


Restrukturisasi dan penghapusan kredit macet merupakan tindakan yang sudah lazim dilakukan di kalangan perbankan Hal itu bertujuan untuk menurunkan rasio kredit bermasalah (non-performing loan) agar tingkat kesehatan bank tetap ter-jaga dengan baik. Meskipun demikian, program restrukturisasi

dan penghapusan kredit macet harus dilaksanakan secara benar sesuai aturan hukum yang berlaku agar tidak sampai menimbulkan moral hazard yang dapat merugikan bank, debitur, dan masyarakat.

Masa sekarang ini, restrukturisasi dan penghapusan kredit macet telah diatur secara jelas dalam UU Perbankan (UU 10/1998) dan Peraturan Bank Indonesia (khususnya PBI 7/2005), serta dalam pedoman perkreditan yang harus ada di masing-masing bank. Sesuai dengan PBI 7/2005 Pasal 1 angka 25, restrukturisasi kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan bank dalam
kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya, yang dilakukan antara lain
melalui :
a) penurunan suku bunga kredit;
b) perpanjangan jangka waktu kredit;
c) pengurangan tunggakan bunga kredit;
d) pengurangan tunggakan pokok kredit;
e) penambahan fasilitas kredit; dan atau
f) konversi kredit menjadi penyertaan modal
    sementara.


Bank hanya dapat melakukan restrukturisasi kredit terhadap debitur yang mengalami kesulitan pembayaran pokok dan atau bunga kredit; dan terhadap debitur yang masih memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah kredit direstrukturisasi. Bank dilarang melakukan restrukturisasi kredit dengan tujuan hanya untuk menghindari :
(a) penurunan penggolongan kualitas kredit 
(b) peningkatan pembentukan PPA (penyisihan
      penghapusan aktiva); atau 
(c) penghentian pengakuan pendapatan bunga
     secara akrual.

Penghapusan kredit macet atau write-off adalah bagian tak terpisahkan dari manajemen risiko penyaluran kredit perbankan. 

Penghapusan kredit macet terdiri atas dua tahap, yaitu: 

1.   Hapus buku atau penghapusan secara
      bersyarat atau conditional write-off, dan 

2.   Hapus tagih atau penghapusan secara
      mutlak atau absolute write-of


Dalam program hapus buku, portofolio kredit macet dikeluarkan dari pembukuan bank, namun pihak bank masih tetap melakukan penagihan kredit macet tersebut. Jika program hapus buku tidak berhasil dan proses penagihan sudah sulit dilakukan, maka manajemen bank dapat membuat program hapus tagih sehingga portofolio kredit macet tersebut tidak perlu ditagih lagi.Program hapus buku dan hapus tagih terhadap kredit macet sudah lazim dilakukan oleh kalangan perbankan di seluruh dunia. Penghapusan itu sebagai salah satu cara untuk menyiasati tingginya angka rasio NPL (non-performing loan) atau kredit bermasalah.


Meskipun tindakan semacam ini tergolong lazim namun program hapus buku dan hapus tagih terhadap kredit macet di perbankan harus tetap mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di samping itu, program hapus buku dan hapus tagih juga harus diatur dalam pedoman perkreditan yang harus ada di masing-masing bank.Pelaksanaan program hapus buku dan hapus tagih terhadap kredit macet di perbankan nasional harus dilakukaın sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu: 
UU Perbankan, UU Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia,dan UU Perseroan Terbatas (khususnya yang mengatur tentang RUPS). Khusus untuk bank BUMN (badan usaha milik negara) yang mayoritas sahamnya dipegang oleh Negara/Pemerintah maka pelaksanaan program hapus buku dan hapus tagih juga harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang terkait. 
Misalnya UU 49/Prp/1960 tentang PUPN, UU
1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 19/2003 tentang BUMN, PP 14/2005, dan PP 33/2006.

Sebagai bank milik Pemerintah, maka pengelolaan bank BUMN masih banyak diatur oleh pemerintah sehingga dalam banyak hal dapat memperlambat kinerja bank BUMN
Kenyataan inilah yang kemudian mendasari pemerintah untuk secara bertahap memberikan kemandirian penuh kepada BUMN, termasuk bank BUMN, untuk mengelola usahanya secara mandiri sesuai "mekanisme korporasi". Berbekal semangat itulah, maka pada Pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla kemudian menerbitkan PP 33/2006 guna mendorong kemandirian BUMN, termasuk bank BUMN, agar dapat menyelesaikan piutang macet yang dimilikinya secara mandiri tanpa perlu melibatkan Panitia Pengurusan Piutang Negara (PUPN) Setiap kegiatan penyaluran kredit perbankan selalu memiliki risiko terjadinya kemacetan, sehingga pejabat dan petugas Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet. bank harus senantiasa memegang prinsip kehati-hatian, menguasai manajemen risiko kredit, dan mematuhi Peraturan Bank Indonesia yang mengatur tentang perkreditan, serta memegang teguh peraturan perkreditan di dalam internal bank.


Portofolio kredit yang sudah tergolong macet dan sudah diusahakan untuk ditagih namun masih belum berhasil, dapat diusulkan melalui RUPS untuk dimasukkan dalam program hapus buku dan hapus tagih. UU Perbankan dan UU Bank Indonesia adalah produk hukum yang bersifat khusus (lex spesialis) sehingga pelaksanaannya seharusnya lebih diutamakan dibandingkan UU yang bersifat umum (lex generalis) seperti UU Perseroan Terbatas.Hal ini senada dengan asas hukum yang berbunyi lex spesialis derogate lex generalis yang artinya "aturan hukum yang bersifat khusus mengalahkan aturan hukum yang bersifat umum". Sebagai contoh, pendirian sebuah Perseroan Terbatas di bidang perbankan lebih banyak nengacu pada UU Bank Indonesia.


Peraturan Bank Indonesia sebagai aturan hukum yang bersifat khusus. Pendirian Perseroan Terbatas dalam bentuk Bank Umum, sesuai Pasal 5 PBI 11/2009, mensyaratkan adanya modal disetor minimal Rp3 triliun. Sedangkan sesuai Pasal 32 UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, modal dasar pendirian Perseroan Terbatas hanya minimal Rp50 juta. Dalam kasus perbedaan semacam ini, maka aturan yang dipakai adalah aturan yang bersifat khusus yaitu Pasal 5 PBI 11/2009. Kekhususan UU.

Perbankan dan UU Bank Indonesia didasari fakta bahwa usaha bank banyak berkaitan dengan dana milik masyarakat sehingga perlu diatur secara ketat. Usaha bank juga sangat dipengaruhi
oleh tingkat kepercayaan masyarakat, sehingga pengelolaannya harus dilakukan secara hati-hati dan bertanggung jawab Sebagai suatu lembaga yang fungsi utamanya adalah menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, peran perbankan untuk menunjang pergerakan sektor riil melalui pembiayaan sangat diharapkan.


Dalam melaksanakan pembiayaan yang dimaksud, bank perlu tetap mengelola eksposur risiko kredit pada tingkat yang memadai sehingga dapat meminimalkan potensi kerugian dari penyediaan dana. Berkaitan dengan hal tersebut, penerapan manajemen risiko kredit pada setiap
tahapan penyediaan dana, termasuk menjaga kualitas aktiva dan pembentukan penyisihan penghapusan yang cukup, perlu dilakukan secara efektif


Kondisi aset perbankan nasional masih tetap dipengaruhi oleh risiko kredit, yang apabila tidak dikelola secara efektif akan berpotensi mengganggu kelangsungan usaha Bank. Pengelolaan risiko kredit yang tidak efektif antara lain disebabkan: 

(a).kelemahan penerapan kebijakan dan
      prosedur penyediaan dana,termasuk
      penetapan kualitasnya, 

(b).kelemahan mengelola portofolio aset bank, 

(c).kelemahan mengantisipasi perubahan
      faktor eksternal yang memengaruhi kualitas
      penyediaan dana.


Untuk memelihara kelangsungan usaha, bank perlu meminimalkan potensi kerugian dari penyediaan dana, antara lain dengan memelihara eksposur risiko kredit pada tingkat memadai. Berkaitan dengan hal itu, pengurus bank wajib menerapkan manajemen risiko kredit secara efektif dan melaksanakan prinsip kehati-hatian.

Aset atau agunan yang dinilai kualitasnya mencakup aktiva produktif dan aktiva nonproduktif. Perluasan cakupan aset yang yang dinilai tersebut dimaksudkan agar bank sedini mungkin mengatur kembali portofolio aset-asetnya terutama pada sisi aktiva nonproduktif sehingga dapat mengembalikan fungsi bank sebagai lembaga intermediasi yang menyalurkan dana kepada sektor usaha yang eligible. Selain itu, untuk menentukan kualitas penyediaan dana yang lebih mencerminkan tingkat ekposur risiko kredit, perlu ditata kembali kriteria, persyaratan dan tata cara penilaian kualitas pada setiap jenis penyediaan dana.


Secara umum, dalam penetapan kualitas aktiva produktif antara lain digunakan pendekatan uniform classification untuk aktiva produktif yang digunakan untuk membiayai satu debitur. Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet atau satu proyek. Dalam penetapan kualitas kredit, bank wajib memperhatikan faktor prospek usaha, kinerja, dan kemampuan membayar debitur. Mengingat pentingnya upaya memelihara lingkungan hidup, dalam penilaian prospek usaha, bank perlu memperhatikan pula upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup. Sejalan dengan semakin berkembangnya jenis surat berharga, dalam ketentuan PBI 7/2005 diatur pula penilaian kualitas surat berharga yang dijamin atau dihubungkan dengan aset tertentu (underlying reference assets). Selain itu, dengan akan berakhirnya program penjaminan pemerintah untuk penempatan kepada bank lain maka bank perlu menilai kualitas penempatan kepada pada bank lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.


Dalam rangka meningkatkan kredit perbankan, khusus di daerah tertentu yang menurut penilaian Bank Indonesia memerlukan penanganan khusus untuk mendorong pembangunan ekonomi di daerah yang bersangkutan diberikan keringanan persyaratan penilaian kualitas penyediaan dana, yakni hanya berdasarkan ketepatan pembayaran. Keringanan yang sama juga diberikan untuk kredit usaha kecil dan penyediaan dana sampai dengan Rp500 juta. Untuk mengantisipasi potensi kerugian dari penyediaan dana, bank wajib membentuk penyisihan penghapusan aktiva.


(PPA) berupa cadangan umum dan cadangan khusus untuk aktiva produktif dengan memperhitungkan agunan yang memenuhi persyaratan sebagai faktor pengurang cadangan. Selain itu, sejalan dengan amanat undang-undang perbankan agar bank segera menyelesaikan aktiva nonproduktif yang dimiliki, maka bank perlu melakukan langkah-langkah termasuk melakukan antisipasi potensi kerugian melalui pembentukan cadangan khusus.


Sebagai salah satu upaya untuk meminimalkan potensi kerugian dari kredit bermasalah, bank juga dapat melakukan restrukturisasi kredit untuk debitur yang masih memiliki prospek usaha dan kemampuan membayar setelah dilakukan restrukturisasi. Untuk eksposur penyediaan dana yang sudah tidak memiliki prospek usaha dan kemampuan membayar atau telah dikategorikan kredit macet serta bank telah melakukan berbagai upaya untuk memperoleh kembali penyediaan dana tersebut, maka bank dapat melakukan hapus buku atau hapus tagih. Program hapus tagih, sesuai Pasal 70 Ayat (4) PBI 7/2005, dapat dilakukan dalam rangka restrukturisasi kredit atau dalam rangka penyelesaian kredit.



BAB 2.

KREDIT PERBANKAN
Materi :
• Pengertian Kredit, Unsur Kredit, Fungsi Kredit
• Regulasi Perkreditan dan Pedoman 
  Perkreditan
• Perjanjian Kredit Antara Debitur dan Kreditur
• Perjanjian Kredit sebagai Perjanjian Pokok
• Perjanjian Jaminan sebagai Perjanjian 
  Tambahan
• Wanprestasi sebagai Awal Penyebab Kredit 
  Bermasalah

KREDIT PERBANKAN


Pengertian Kredit, Unsur Kredit, Fungsi Kredit


Perkataan "kredit berasal dari bahasa Latin credo yang berarti "saya percaya", yang merupakan kombinasi dari bahasa Sanskerta cred yang artinya "kepercayaan", dan bahasa Latin do yang artinya "saya tempatkan". Memperoleh kredit berarti memperoleh kepercayaan. Atas dasar kepercayaan kepada seseorang yang memerlukannya maka diberikan uang barang
atau jasa dengan syarat membayar kembali atau memberikan penggantiannya dalam suatu jangka waktu yang telah diperjanjikan. Yang terpenting dalam praktik perbankan adalah penyerahan uang, karena uang merupakan pengganti barang atau jasa dan telah luas dipergunakan. Dalam kehidupan sehari-hari,kredit diartikan sebagai "pinjaman" atau "utang".


Pengertian "kredit' menurut UU 10/1998 tentang Perbankan,Pasal 1 angka 11, adalah "penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga".


Pengertian "kredit" menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (selanjutnya disebut PBI 7/2005), Pasal 1 angka 5, adalah "penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk:
a) Cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada
    rekening giro nasabah yang tidak dapat
    dibayar lunas pada akhir hari;
b) Pengambilalihan tagihan dalam rangka
    kegiatan anjak piutang;
c) Pengambilalihan atau pembelian kredit dari
     pihak lain."


Kredit yang diberikan oleh bank didasarkan atas kepercayaan sehingga pemberian kredit merupakan pemberian kepercayaan kepada nasabah. Oleh Karena pemberian Kredit oleh
bank dimaksudkan sebagai salah satu usaha untuk mendapatkan keuntungan, maka bank hanya boleh meneruskan simpanan masyarakat kepada nasabahnya dalam bentuk kredit. jika ia betul-betul yakin bahwa si debitur akan mengembalikan pinjaman yang diterimanya sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disetujui oleh kedua belah pihak. Hal tersebut menunjukkan perlu diperhatikannya faktor kemampuan dan kemauan, sehingga tersimpul kehati-hatian dengan menjaga unsur keamanan dan sekaligus unsur keuntungan
dari suatu kredit.


Unsur Kredit

Unsur kredit yang paling esensial adalah "kepercayaan" dari bank/kreditor terhadap nasabah peminjam/debitur. Kepercayaan tersebut timbul karena dipenuhinya segala ketentuan dan persyaratan untuk memperoleh kredit bank oleh
debitur, antara lain, jelasnya tujuan peruntukan kredit, adanya benda jaminan atau agunan, dan lain-lain.

Dalam buku Dasar-Dasar Perkreditan karya Drs. Thomas Suyatno mengemukakan unsur-unsur kredit yang terdiri atas: 
(a). Kepercayaan
(b). Tenggang waktu
(c) . Degree of risk (tingkat risiko) 
(d). Prestasi atau objek kredit.


Dalam sektor perbankan yang lebih luas, unsur-unsur kredit juga meliputi: organisasi dan manajemen perkreditan, dokumen dan administrasi kredit, perjanjian kredit, agunan, penyelesaian kredit macet, dan unsur lainnya. Dalam perkreditan ditemukan banyak ketentuan yang mengatur dan membatasinya, hal itu
karena memang bidang perbankan merupakan kegiatan usaha yang paling banyak diatur dan dibatasi ketentuan perundang-undangan. Dengan kondisi seperti itu maka peraturan perundang-undangan merupakan salasatu unsur utama dari kegiatan perkreditan.



Fungsi Kredit

Fungsi kredit bagi masyarakat adalah untuk :
(1) menjadi motivator dan dinamisator peningkatan kegiatan perdagangan dan
perekonomian, 
(2) memperluas lapangan kerja bagi masyarakat,
(3) memperlancar arus barang dan arus uang, 
(4) meningkatkan hubungan internasional, 
(5) meningkatkan produktivitas
dana yang ada. 
(6) meningkatkan daya guna barang. 
(7) meningkatkan kegairahan berusaha
      masyarakat, 
(8) memperbesar modal kerja perusahaan, 
(9) meningkatkan "income per capita"
      masyarakat, dan 
(10)mengubah cara berpikir atau cara bertin-
        dak masyarakat untuk lebih ekonomis.


Tujuan penyaluran kredit adalah untuk : 

(1) memperoleh pendapatan bank dari bunga
      kredit, 
(2) memanfaatkan dan memproduktifkan dana-
     dana yang ada, 
(3) melaksanakan kegiatan operasional bank, 
(4) memenuhi permintaan kredit dari
      masyarakat, 
(5) memperlancar lalu lintas pembayaran, 
(6) menambah modal kerja perusahaan, 
(7) meningkatkan pendapatan dan
      kesejahteraan masyarakat.


REGULASI PERKREDITAN DAN PEDOMAN PERKREDITAN 


Regulasi Perkreditan
Regulasi Perkreditan dan Pedoman Perkreditan
Regulasi perkreditan di sektor perbankan secara nasional di atur dalam UU Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia. Disamping itu, pengaturan perkreditan juga diatur secara internal
di masing-masing bank dalam bentuk Pedoman Perkreditan atau Peraturan Perkreditan. UU Perbankan (UU 10/1998) Pasal 8 Ayat (2) secara tegas menyatakan bahwa "Bank umum wajib memiliki dan menerapkan Pedoman Perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia."


Pedoman Perkreditan
Pedoman perkreditan yang harus ada di masing-masing bank umum, berdasarkan Penjelasan Pasal 8 Ayat (2) dari UU 10/1998 harus memuat aturan tentang :
a) Pemberian kredit harus dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis,
b) Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya.Keyakinan tersebut harus berdasarkan hasil penilaian terhadap Prinsip 5-C (Character, Capacity, Capital, Collateral, dan Condition of Economy),
c) Bank wajib menyusun dan menerapkan prosedur pemberian Kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah,
d) Bank wajib memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah,
e) Bank dilarang memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada nasabah debitur atau pihak terafiliasi, dan
f) Bank wajib menetapkan aturan tentang cara-cara penyelesaian sengketa.


Regulasi perkreditan di sektor perbankan juga diatur oleh Bank Indonesia yang memang berwenang untuk melakukan pengawasan bank di Indonesia. Berdasarkan SK Direksi BI
No.27/162/KTP/DIR tanggal 31 Maret 1995 kepada setiap bank diwajibkan untuk memiliki kebijakan perkreditan secara tertulis, yang sekurang-kurangnya memuat atau mengatur prinsip kehati hatian dalam perkreditan, organisasi dan manajemen perkreditan, kebijakan persetujuan kredit, dokumentasi dan administrasi
kredit, pengawasan, dan penyelesaian kredit bermasalah. Melalui ketentuan tersebut diharapkan bank mempunyai panduan yang jelas sebagai pedoman pelaksanaan perkreditannya.
Dengan demikian risiko yang mungkin timbul sedini dapat dideteksi dan dikendalikan sedini mungkin, sekaligus dapat menghindari kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang dalam pemberian kredit.


Dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank
yang dengan sengaja melanggar pedoman perkreditan, sesuai Pasal 49 Ayat (2) huruf b UU 10/1998, dapat diancam pidana penjara 3 hingga 8 tahun serta denda Rp5 miliar hingga Rp l0 miliar
Perjanjian Kredit Antara Debitur dan Kreditor
Pemberian kredit dari bank (selaku kreditor) kepada nasabah kredit (selaku debitur) harus selalu didasari oleh adanya perjanjian kredit antara kedua belah pihak. Perjanjian kredit tersebut harus dibuat dengan memperhatikan semua aspek hukum perjanjian atau hukum perikatan, terutama yang berkaitan dengan
asas-asas hukum perjanjian/perikatan dan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian/perikatan. Jika perjanjian kredit yang dibuat ternyata terbukti tidak mematuhi asas-asas hukum perjanjian/hukum perikatan, serta tidak memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian/perikatan, maka perjanjian kredit tersebut "dapat dibatalkan" dan atau dinyatakan "batal demi hukum".


PERJANJIAN KREDIT ANTARA DEBITUR DAN KREDITUR


Pemberian kredit dari bank kepada debitur, selain harus didasari oleh adanya unsur kepercayaan, juga harus didasari oleh adanya sebuah kontrak perjanjian kredit yang bersifat tertulis dan pada umumnya perjanjian kredit tersebut diikat dengan
sebuah akta notaris agar kepastian hukumnya lebih terjamin UU Perbankan (UU 10/1998), Pasal 8 Ayat (2) secara jelas dan tegas mensyaratkan keharusan bank untuk membuat perjanjian kredit dengan nasabahnya secara tertulis.


Pengertian "kredit" menurut UU 10/1998 tentang Perbankan, Pasal 1 angka 11, adalah "penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga". Berdasarkan
Pasal 1 tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian kredit bank harus didasari adanya suatu "persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam" antara bank dan pihak debitur


Menurut Prof. Subekti S.H, pengertian perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang
diucapkan atau ditulis. Menurut KUH Perdata, perjanjian atau persetujuan diartikan sebagai perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih (Pasal 1313). Hubungan antara dua orang tersebut adalah suatu hubungan hukum di mana hak dan kewajiban di antara para pihak tersebut dijamin oleh hukum.


Menurut Prof. Subekti S.H., yang dimaksud dengan perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditor atau "Si Berpiutang"


sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu dinamakan debitur atau "Si Berutang
Perjanjian kredit, seperti juga bentuk perjanjian pada umumnya, juga harus dapat memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang "Syarat Sahnya Perjanjian", yaitu: 
(1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, 
(2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, (3) Suatu hal tertentu, 
(4) Suatu sebab yang halal.


Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena menyangkut subjek perjanjian yaitu pihak-pihak yang membuat perianjian; sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena mengenai objek suatu perjanjian. Jika syarat objektif (yaitu syarat ketiga dan keempat) tidak terpenuhi, maka perjanjian itu secara otomatis dinyatakan "batal demi hukum", artinya perjanjian itu dianggap tidak pernah ada sehingga tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Sebaliknya, jika syarat subjektif (yaitu syarat kesatu dan kedua) tidak terpenuhi, maka perjanjian itu tidak otomatis batal demi hukum, kecuali jika salah satu pihak meminta ke-pada hakim supaya perjanjian itu dibatalkan. Suatu perjanjian harus mempunyai pokok (objek) suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya dapat tidak ditentukan pada waktu dibuat perjanjian asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan jumlahnya (Pasal 1333 KUHPerdata). Hakim akan berusaha sebisanya untuk mencari tahu apa pokok atau objek dari suatu perjanjian agar perjanjian tersebut dapat dilaksanakan. Tetapi, jika sampai tidak dapat sama sekali ditentukan pokok atau objek perjanjian itu, maka perjanjian itu menjadi batal demi hukum (tidak sah) Begitu pun mengenai sebab yang halal. Suatu perianjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan hukum atau dengarn
kata lain perjanjian itu dinyatakan tidak sah/batal demi hukum (Pasal 1320 dan Pasal 1335 KUHPerdata) .


Perjanjian kredit, juga harus didasarkan pada "Asas-Asas Perjanjian", yaitu: 
(1) Asas Konsensualitas, 
(2) Asas Kebebasan Berkontrak, 
(3) Asas Kepribadian.


Asas Konsensualitas dapat ditemukan pada Pasal 1320 KUHPerdata yaitu pada syarat per-
tama: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Berdasarkain asas ini maka suatu perjanjian dianggap sudah ada sejak tercapainya "kata sepakat" di antara para pihak. Namun, untuk perjanjian tertentu, misalnya perjanjian kredit, kata sepakat tersebut harus dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis. Asas kebebasan berkontrak memungkinkan kebebasan seluas luasnya yang diberikan undang-undang kepada
masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan ketertiban umum. Asas ini bersumber dari Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian di Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:
a) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
b) Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.
c) Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang dibuatnya.
d) Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
e) Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
f) Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi keten-tuan undang-undang yang bersifat opsional.


Asas kepribadian (privity of contract) bersumber dari Pasal 1340 KUH Perdata yang menyatakan tentang ruang ingkup berlakunya perjanjian yaitu hanya berlaku terbatas bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian itu saja. Jadi, pihak ketiga
(pihak di luar perjanjian) tidak dapat ikut menuntut suatu hak berdasarkan perjanjian itu. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi "Perjanjian-perjanjian tidak dapat merugikan kepada pihak ketiga dan tidak dapat menguntungkan pihak ketiga pula, kecuali untuk hal yang diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata." Pasal 1317 KUH Perdata memperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu perjanjian bagi kepentingan seseorang (pihak ketiga) jika perjanjian tersebut memuat ketentuan seperti itu. Pasal 1315 KUH Perdata menyatakan bahwa tiada seorang pun dapat mengikatkan dirinya atas nama sendiri atau
meminta ditetapkannya suatu janji melainkan untuk dirinya sendiri. Jika Pasal 1340 KUH Perdata menentukan tentang tidak bolehnya pihak ketiga mencampuri urusan dalam perjanjian
pihak-pihak lain, dalam Pasal 1315 KUH Perdata ditentukan bahwa para pihak yang membuat perjanjian tidak boleh melepaskan tanggung jawab dari perikatan vang dibuatnya. Ketentuan dalam pasal ini tidak memperbolehkan seseorang
membuat perjanjian yang hanya mau haknya saja tanpa mau memikul kewajibannya atau tanpa mau memenuhi prestasinya sendiri (seakan-akan seperti perjanjian yang tanpa sebab).


Perjanjian Kredit Antara Debitur dan Kreditur


PENGERTIAN 

Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang menyatakan bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain.
Pencantuman kata-kata persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam dapat mempunyai beberapa maksud, yaitu :


1. Pembentuk undang-undang bermaksud untuk menegaskan bahwa hubungan kredit bank adalah hubungan kontraktual antara bank dan nasabah debitur yang berbentuk pinjam meminjam. Jadi dengan demikian hubungan kredit bank berlaku Buku Ketiga (tentang perikatan) pada umumnya dan Bab Ketigabelas (tentang pinjam meminjam) KUH Pedata pada khususnya.


2. Pembentuk undang-undang bermaksud untuk mengharuskan hubungan kredit bank dibuat berdasarkan perjanjian tertulis, dengan tujuan agar perjanjian tersebut dapat dipergunakan sebagai alat bukti.


SYARAT – SYARAT

Dalam pelaksanaannya, perjanjian kredit pada umumnya harus dapat memenuhi persyaratan sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang menentukan 4 syarat sahnya perjanjian , yaitu :
1.    Kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian
2.    Kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian
3.    Adanya obyek tertentu
4.    Adanya suatu sebab yang halal

FUNGSI

Adapun fungsi dari perjanjian kredit adalah sebagai berikut :
1.    Perjanjian kredit berfungsi sebagai Perjanjian Pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan
2.    Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban diantara kreditur dan debitur
3.    Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.


JENIS

Secara yuridis formal ada 2 (dua) jenis perjanjian kredit atau pengikatan kredit yang digunakan oleh bank dalam menyalurkan kreditnya, yaitu :
1. Perjanjian/pengikatan kredit di bawah tangan atau akta di bawah tangan;
Pengertian perjanjian kredit di bawah tangan adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat diantara mereka (kreditur dan debitur), dimana formulirnya telah disediakan oleh pihak bank (form standart/baku).
2. Perjanjian/pengikatan kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris atau akta otentik.
Perjanjian kredit notariil (otentik) adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat oleh atau dihadapan notaris.


SUBYEK HUKUM DALAM PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN


Nasabah sebagai pemohon kredit harus menyampaikan surat permohonan untuk mendapatkan kredit yang antara lain berisi :
1.Identitas nasabah
2.Bidang usaha nasabah
3.Tujuan pemakaian kredit
4.Jumlah kredit yang diminta
5.Susunan pengurus pada perusahaan
   nasabah
6.Laporan keuangan
7.Perencanaan proyek yang akan dibiayai
   dengan kredit

8.Jaminan atas kredit
9.Dan lain-lain.


BEBERAPA MACAM JAMINAN


1. Gadai
2. Fidusia
3. Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah

KESIMPULAN PERJANJIAN KREDIT

“Perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai nasabah debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah-nasabah debitur untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan”.


CONTOH SURAT PERJANJIAN KREDIT


     " PERJANJIAN KREDIT BANK GARANSI "


Pada hari ini, _____ Tanggal _____ telah terjadi Perjanjian oleh dan antara:
1.    Tuan _____ , Direktur PT _____ , bertempat tinggal di _____ .
Dalam hal ini bertindak dalam jabatannya tersebut oleh karena itu mewakili serta untuk dan atas nama perseroan terbatas PT _____ , berkedudukan di _____ , berdasarkan anggaran dasarnya yang dibuat di hadapan _____ , Notaris di _____ Tanggal _____ Nomor _____ .
Selanjutnya disebut DEBITUR.


2 .    Tuan _____ , Presiden Direktur PT _____ , bertempat tinggal di _____ .
Dalam hal ini bertindak dalam jabatannya tersebut oleh karena itu mewakili serta untuk dan atas nama perseroan terbatas PT _____ , berkedudukan di _____ , berdasarkan anggaran dasarnya yang dibuat di hadapan _____ , Notaris di _____ Tanggal _____ Nomor _____ .
Selanjutnya disebut BANK.


Para Pihak menerangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
Bahwa untuk menjamin kewajiban DEBITUR kepada Pihak Ketiga (selanjutnya disebut Terjamin), DEBITUR telah menerima dari BANK fasilitas Bank Garansi sebesar Rp _____ (_____ Rupiah), dan DEBITUR dengan ini menyatakan kembali fasilitas Bank Garansi yang telah diterimanya dari BANK dalam Perjanjian ini.


Berdasarkan hal-hal tersebut di atas Para Pihak telah sepakat untuk membuat Perjanjian ini dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:


Pasal 1
JUMLAH DAN JANGKA WAKTU BANK GARANSI
1. Sampai dengan tanggal _____ BANK akan memberikan fasilitas kredit (selanjutnya disebut Fasilitas Kredit) kepada DEBITUR yang akan dituangkan dalam bentuk penerbitan Bank Garansi oleh BANK untuk kepentingan Terjamin, dengan ketentuan bahwa jumlah uang yang akan dibayar oleh BANK berdasarkan Bank Garansi tersebut tidak akan melebihi Rp _____ (_____ Rupiah). Fasilitas Kredit mana hanya akan digunakan oleh DEBITUR dan dicairkan oleh BANK untuk membayar pengajuan Klaim dari Terjamin berdasarkan Bank Garansi.
2. BANK setiap waktu berhak untuk menyesuaikan jumlah Fasilitas Kredit yang diberikan kepada DEBITUR untuk penerbitan Bank Garansi tersebut dengan nilai jaminan yang disediakan oleh DEBITUR, satu dan lain semata-mata menurut pertimbangan BANK.
3. Masa berlaku pemberian Fasilitas Kredit untuk Bank Garansi ini dapat diper-panjang untuk jangka waktu yang akan ditetapkan oleh BANK.


Pasal 2
PENGAKUAN UTANG DAN PENARIKAN KREDIT
Apabila BANK melakukan pembayaran kepada Terjamin berdasarkan Bank Garansi, pembayaran mana akan merupakan penarikan kredit oleh DEBITUR kepada BANK berdasarkan Perjanjian Kredit ini, mengaku berutang kepada BANK uang sebesar yang dibayarkan oleh BANK kepada Terjamin ditambah dengan bunga dan lain-lain biaya sebagaimana tertera dalam pembukuan BANK atas rekening DEBITUR kepada BANK sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam Perjanjian ini.


Pasal 3
BIAYA-BIAYA
Atas pemberian Fasilitas Kredit oleh BANK kepada DEBITUR berdasarkan Perjanjian kredit ini, maka DEBITUR wajib membayar kepada BANK:
– Komisi Bank Garansi sebesar _____ % (_____ persen) per tahun dari besarnya Bank Garansi, terhitung dari tanggal penerbitan Bank Garansi sampai berakhirnya jangka waktu Bank Garansi, Komisi mana harus dibayar di muka pada setiap penerbitan Bank Garansi.
– Provisi sebesar _____ % (_____ persen) dari besarnya plafon kredit yang dise-diakan yang harus dibayar di muka pada saat ditandatanganinya Perjanjian ini.


Pasal 4
FASILITAS KREDIT
1. Kredit yang ditarik tersebut pada Pasal 2 wajib dibayar kembali oleh DEBITUR kepada BANK sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan oleh BANK pada saat penarikan tersebut.
2. Atas Kredit yang telah ditarik berdasarkan Pasal 2 tersebut, DEBITUR harus membayar kepada BANK bunga sebesar suku bunga yang berlaku di BANK terhitung sejak tanggal penarikan hingga tanggal dibayar lunasnya seluruh jumlah utang-utang sesuai perhitungan BANK, yang terdiri dari jumlah pokok, bunga, provisi, komisi serta biaya-biaya lain yang timbul karena Perjanjian ini, dengan ketentuan bahwa BANK setiap waktu berhak untuk menyesuaikan besarnya bunga tersebut dengan tingkat bunga yang berlaku dan ditentukan sendiri sesuai pertimbangan BANK.
3. Untuk perhitungan bunga dalam Perjanjian ini, satu tahun terdiri dari 365 (tigaratus enampuluh lima) hari.


Pasal 5
DENDA BUNGA
Dalam hal DEBITUR tidak membayar lunas kepada BANK suatu jumlah uang yang wajib dibayar oleh DEBITUR kepada BANK berdasarkan Perjanjian ini pada waktu yang telah ditentukan pada Pasal 4, baik jumlah utang pokok maupun lain-lain jumlah uang yang wajib dibayar, maka hal tersebut sudah membuktikan kelalaian DEBITUR kepada BANK. Dan, untuk kelalaian atau keterlambatan dalam hal pembayaran lunas jumlah uang tersebut DEBITUR berkewajiban untuk membayar denda bunga kepada BANK yang akan ditetapkan oleb BANK. Denda mana akan dihitung sejak hari dan tanggal di mana sejumlah uang itu wajib dibayar oleh DEBITUR kepada BANK sampai dengan hari ini dan tanggal jumlah uang tersebut dibayar lunas oleh kepada BANK.


Pasal 6
PEMBUKUAN
Untuk melaksanakan hak-haknya yang timbul berdasarkan Perjanjian ini, maka BANK berhak untuk menetapkan sendiri jumlah uang yang terutang dan wajib dibayar oleh DEBITUR kepada BANK berdasarkan Perjanjian ini, baik jumlah pokok, bunga dan lain-lainnya, penetapan mana akan mengikat terhadap DEBITUR (kecuali bilamana terjadi kesalahan dalam perhitungan).


Pasal 7
JAMINAN
Untuk menjamin pembayaran kembali secara tertib dan sebagaimana mestinya dari utang dan segala sesuatu yang harus dibayar oleh DEBITUR kepada BANK berdasarkan Perjanjian ini, perubahan-perubahan dan pembaruan-pembaruannya, maka DEBITUR diwajibkan memberikan jaminan tersebut di bawah ini dalam bentuk dan isi sebagaimana ditentukan oleh BANK:
a. Sebidang tanah Hak Guna Bangunan berikut bangunan yang berada di atasnya sebagaimana diuraikan dalam sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor _____ .
b. Sebidang tanah bekas tanah Hak Milik yang diperoleh DEBITUR berdasarkan Akta Pelepasan Hak Tanggal _____ Nomor _____ .
c. Memberikan Margin deposit minimal sebesar _____ % (_____ persen) dari nilai setiap Bank Garansi.
d. Perjanjian Penyerahan Secara Fiducia Sebagai Jaminan Nomor _____ .
e. Perjanjian Pemberian Jaminan Nomor _____ .


Pasal 8
CIDERA JANJI
Bilamana teijadi atau timbul salah satu/sebagian atau seluruh peristiwa yang ditetapkan di bawah ini, yaitu:
a.    DEBITUR lalai melaksanakan suatu kewajiban atau melanggar suatu ketentuan yang termaktub dalam Perjanjian ini dan/atau perjanjian-perjanjian jaminan tersebut dalam Pasal 7, termasuk tetapi tidak terbatas bilamana DEBITUR lidak atau lalai membayar lunas pada waktunya kepada BANK suatu jumlah pokok dan/atau bunga, komisi dan lain-lain jumlah uang yang telah wajib dibayar lunas.
b. Kekayaan DEBITUR atau barang-barang (baik bergerak atau tidak bergerak, yang menjadi jaminan untuk pembayaran kembali utang DEBITUR kepada BANK yang timbul berdasarkan Perjanjian ini, sebagian atau seluruhnya disita oleh instansi yang berwajib.
c.    Bilamana pernyataan atau jaminan yang diberikan oleh DEBITUR kepada BANK dalam perjanjian-perjanjian jaminan tersebut dalam Pasal 7 tidak benar dan/ atau tidak sesuai dengan kenyataan.
d.    Bilamana DEBITUR tidak atau lalai membayar lunas dan/atau dengan sebagai-mana mestinya kepada BANK suatu jumlah uang yang berdasarkan Perjanjian (perjanjian) lain berupa apa pun yang sekarang telah dan atau dikemudian hari akan dibuat oleh dan antara BANK dan DEBITUR wajib dibayar oleh DEBITUR kepada BANK.
e.    Bilamana DEBITUR dan/atau Penjamin dinyatakan oleh instansi yang berwenang berada dalam keadaan pailit atau diberikan penundaan pembayaran utang-utangnya (surseance van betaling) kepada siapa pun.
f.    Bilamana DEBITUR dan/atau Penjamin mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang untuk dinyatakan pailit, dan/atau untuk diberikan pe-nundaan pembayaran utang-utangnya (surseance van betaling), atau bilamana orang/pihak lain mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang agar DEBITUR dan/atau Penjamin dinyatakan dalam keadaan pailit;
g. Bilamana DEBITUR dan/atau Penjamin lalai melaksanakan suatu kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap suatu ketentuan dalam suatu perjanjian dengan orang/pihak lain yang mengenai atau berhubungan dengan pinjaman uang/pemberian fasilitas kredit/anjak piutang, fasilitas leasing di mana DEBITUR atau Penjamin adalah sebagai pihak yang menerima atau sebagai pihak penyewa (lessee) maupun sebagai klien, dan/atau sebagai penjamin dan ke-lalaian atau pelanggaran mana memberikan hak kepada pihak yang mem-berikan pinjaman atau yang menyewakan (lessor) untuk menuntut pembayaran dan pembayaran kembali atas jumlah-jumlah uang yang terutang atau wajib dibayar oleh DEBITUR dan/atau Penjamin dalam perjanjian tersebut secara sekaligus sebelum tanggal jatuh waktunya.
h. Bilamana terhadap DEBITUR dan/atau Penjamin diajukan tuntutan hukum di muka pengadilan oleh pihak lain.


Pasal 9
PENGGUNAAN HASIL
Bank berhak mempergunakan hasil yang diperoleh dari jaminan yang diuraikan pada Pasal 7 untuk membayar jumlah yang oleh BANK ditetapkan telah terutang dan wajib dibayar oleh DEBITUR kepada BANK, dan DEBITUR dengan ini melepas-kan semua haknya untuk mengajukan keberatan/sanggahan atau bantahan berupa apa pun juga terhadap perhitungan yang dilakukan oleh BANK.


Pasal 10
BERAKHIRNYA PERJANJIAN
1.    Menyimpang dari segala sesuatu yang ditetapkan di atas ini, BANK juga berhak semata-mata atas pertimbangan BANK saja pada setiap waktu yang dipandang baik dan dengan seketika (yakni, sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam Pasal 1 di atas) menghentikan/mengakhiri Perjanjian ini se-cara sepihak, yakni dengan cara mengirimkan surat pemberitahuan mengenai hal itu kepada DEBITUR, dengan ketentuan bahwa DEBITUR tetap wajib melakukan kewajiban-kewajibannya berdasarkan Perjanjian ini yang ada se-belum berakhirnya Perjanjian ini.
2. Dalam kejadian ini, maka:
a. Kewajiban BANK untuk mengeluarkan Bank Garansi yang belum dikeluarkan akan berakhir/berhenti dengan sendirinya secara seketika.
b. Bank Garansi yang telah dikeluarkan oleh BANK berdasarkan Perjanjian ini akan tetap berlaku sampai berakhir masa berlakunya Bank Garansi yang bersangkutan, akan tetapi Bank Garansi tersebut tidak akan diperpanjang atau diperbarui oleh BANK.


Pasal 11
LAIN-LAIN
1. Apabila dalam Perjanjian ini ditetapkan suatu jangka waktu bagi DEBITUR untuk melakukan suatu kewajiban, dan DEBITUR tidak melakukan kewajibannya, maka lewatnya jangka waktu dimaksud sudah merupakan bukti yang sah dan cukup mengenai kelalaian DEBITUR, sehingga mengenai kelalaian tersebut tidak diperlukan alat bukti lain maupun teguran atau pernyataan berupa apa pun dan dari siapa pun.
2.    Ongkos-ongkos dan biaya-biaya yang harus dibayar untuk dan sehubungan dengan pembuatan dan pelaksanaan Perjanjian ini ditanggung oleh DEBITUR. Bilamana untuk melakukan pembayaran atau pembayaran kembali atas jumlah-jumlah uang yang wajib dibayar atau dibayar kembali oleh DEBITUR kepada BANK berdasarkan Perjanjian ini diperlukan tindakan-tindakan penagihan terhadap DEBITUR, maka semua biaya-biaya dan ongkos-ongkos penagihan tersebut baik di muka maupun di luar Pengadilan termasuk upah kuasa BANK yang ditugaskan untuk melakukan penagihan, semuanya menjadi tanggungan dan wajib dibayar oleh DEBITUR.
3. Mengenai Perjanjian ini BANK dan DEBITUR melepaskan ketentuan Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sejauh disyaratkannya putusan Pengadilan untuk menghentikan suatu perjanjian.


Pasal 12


PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Apabila terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan secara kekeluargaan atau musyawarah. Dan, apabila tidak terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak dalam musyawarah, maka kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan dan memilih tempat kediaman yang sah dan tidak berubah di Kantor Pengadilan Negeri _____ .


Demikianlah Perjanjian ini dibuat dan ditandangani sebagai bukti yang sah pada hari, tanggal, bulan, tahun yang telah disebutkan dalam awal Perjanjian ini.


PERJANJIAN KREDIT SEBAGAI PERJANJIAN POKOK 

Fungsi Perjanjian Kredit Bank Tertulis Perjanjian kredit perlu mendapat perhatian khusus, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaan maupun penatalaksanaan kredit itu sendiri.


Perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi, yaitu diantaranya:


Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya (misalnya perjanjian pengikatan jaminan). Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiaban diantara kreditor dan debitor dan Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit. Jenis-jenis Perjanjian Kredit Secara yuridis ada dua jenis perjanjian kredit yang digunakan bank, yaitu; 


1. perjanjian kredit dibawah tangan atau akta
    dibawah tangan dan 


2. perjanjian kredit yang dibuat oleh dan
    dihadapan notaris (notaril) atau akta otentik.


PERJANJIAN JAMINAN SEBAGAI PERJANJIAN TAMBAHAN 


Ketika terjadi hubungan pinjam meminjam maka timbul hak dan kewajiban, ketika terjadi wan prestasi maka disinilah timbulnya pemikiran mengenai apa yang dinamakan jaminan. Yang dipelajari dalam hukum jaminan adalah persoalan kredit yang bersangkut atau berkaitan dengan pihak bank.
Kegunaan jaminan kredit adalah untuk :


1.  memberikan hak dan kekuasaan kepada Bank untuk mendapat pelunasan dari aggunan apabila debitur melakukan cidera janji yaitu untuk membayar kembali hutangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.


2. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayaai usahanya sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah.


3. Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat yang disetujui.


Dapatlah disimpulkan bahwa jaminan kredit Bank berfungsi untuk menjamin pelunasan hutang debitur bila debitur cidera janji atau pailit
Jaminan kredit akan memberikan jaminan kepastian hokum kepada pihak perbankan bahwa kreditnya akan tetap kembali dengan cara mengexekusi jaminan kredit perbankannya.
Dalam perbankan ada 2 istilah dalam jaminan yaitu  :
1.      Jaminan
          Termasuk jaminan pokok yaitu    
           kepercayaan dalam hubungan hukum
           hutang piutang.
2.     Agunan
         Termasuk jaminan tambahan dalam
         hubungan hukum hutang piutang



WANPRESTASI SEBAGAI AWAL PENYEBAB KREDIT 


Terjadinya kredit bermasalah jika dalam jumlah besar dapat menimbulkan petaka ekonomi. Sementara itu bagi petugas bank melakukan analisis terhadap kredit bermasalah berbeda dengan analisis kredit yang baru sama sekali. Ibarat membangun rumah, adalah lebih mudah ditanah kosong, daripada menata kembali rumah yang sudah tua.


Ada tiga penyebab utama munculnya kredit bermasalah :


1. Lemahnya aspek yuridis dalam memproses permintaan kredit daripada calon nasabah. Hal ini menyangkut pengikatan barang jaminan sebagai agunan kredit. Adanya cacat hukum karena kurang jelinya petugas bank dalam melakukan analisis.


2. Lemahnya pengawasan sejak dini, yaitu sejak kredit diberi putusan oleh pejabat bank yang berwenang. Pada hal pengawasan adalah mutlak dilakukan, terutama disaat kredit sudah berada ditangan nasabah, maka monitoring harus dilaksanakan secara rutin.


3. Lemahnya pembinaan nasabah oleh bank dilapangan.


Hal ini guna mempersempit peluang debitur yang nakal melakukan itikad baiknya. Penanganan kredit bermasalah lebih rumit dibandingkan menganalisis kredit baru. Karena menganalisis kredit bermasalah memerlukan :


Ketajaman analisis, melebihi tajamnya analisis kredit biasa karena dalam pemohonan kredit mungkin petugas analisis dapat merekayasa data dan membuat analisis berdasarkan kasus yang sama dengan permohonan kredit lain. Sedangkan dalam kredit analisis bemasalah tidak dapat dilakukan secara “sablon” dan sama karena masalahnya lebih rumit dan hampir tidak ada yang sama.


Keberanian mental, melebihi keberanian menganalisis kredit biasa. Karena kredit biasa dapat dihadapi dengan mental yang normal, sedangkan kredit bermasalah harus ada semangat yang tinggi, disertai dedikasi yang tinggi.


Keseriusan penanganan, karena kredit biasa dapat dilakukan lebih santai dan tenang. Sedangkan kredit bermasalah bagaikan membedah pasien yang berpenyakit.


Semangat kerja yang tinggi, karena kredit biasa diperlukan semangat kerja yang normal pula. Tidaklah demikian kredit bermasalah, petugas bank tidak boleh lekas berputus asa, harus benar-benar tekun, dan percaya diri serta penuh semangat analisis yang benar-benar tepat. Dengan kemudahan perkembangan bank dan diiringi kemudahan ekspansi kredit, maka jumlah kredit meningkat secara tajam (booming kredit), dan selanjutnya jumlah kredit bermasalah juga menjadi bertambah.


Akibat langsung terhadap perkreditan adalah terjadinya ekspansi kredit secara drastis. Rebutan atau pembajakan pegawai dan nasabah,sehingga terjadi kelemahan dalam analisis kredit atau lemahnya aspek pengamanan kredit.

Munculnya kredit bermasalah sering dimulai dengan berbagai indikasi dan gejala sekedar memberikan indikator (red flag) bagi kita. Karena itu kredit bermasalah dapat diibaratkan sebagai suatu penyakit yang perlu diwaspadai oleh dunia perbankan.  Petugas kredit harus mampu “membaca” situasi yang diberikan oleh gejala-gejala tersebut. 


Gejala ini merupakan tanda bahaya yang sangat berguna bagi bank dalam mengantisipasi munculnya kredit bermasalah, dan tanda bahaya ini merupakan upaya peringatan dini (early warning sign) akan situasi kredit. Karena kredit bermasalah itu sendiri tidak muncul secara mendadak dan seketika.

Umumnya tumbuh secara bertahap,dengan memberikan beberapa gejala. Tanda-tanda tersebut seyogianya harus dapat diketahui oleh petugas kredit bank dengan melakukan deteksi secara dini. Ada beberapa sumber untuk melihat adanya gejala atau indikasi kredit bermasalah, yaitu :

1.   Perilaku Rekening (Account attitudes)

Berdasarkan perilaku rekening nasabah pada bank tempat ia memperoleh kredit dapat dibaca situasi yang memberikan indikasi bahwa kredit yang diperoleh nasabah ada gejala masalah:


a.  Saldo rekening sering mengalami over draf
Bila terjadi overdraf adalah suatu hal yang dapat ditolerir dalam bisnis, namun jika sering terjadi perlu diwaspadai kemungkinan menurunnya kemampuan finansial nasabah.


b.   Terjadi penurunan saldo secara mencolok
Turunnya saldo secara mencolok dapat mengancam likuiditas  perusahaan, selanjutnya dapat mengganggu kelancaran roda perusahaan. Bila nasabah dapat membuktikan bahwa menurunannya saldo secara mencolok menjadi aset lain, seperti: membeli persediaan yang diharapkan segera dapat diolah dan dijual, adalah tidak bermasalah. Tetapi jika menurunnya saldo untuk membiayai operasional secara rutin maka hal ini perlu diwaspadai.


c.   Saldo giro rata-rata menurun
Menurunnya saldo giro rata-rata perlu diwaspadai sebagai indikasi menurunnya likuiditas perusahaan nasabah, karena gejala ini merupakan indikasi menurunnya kemampuan keuangan nasabah.


d.   Pembayaran angsuran maupun bunga tersendat-sendat. Setiap nasabah yang lancar usahanya dan baik itikadnya, maka ia selalu ingat akan selalu ingat akan pembayaran bunga dan angsuran pinjaman. Adalah wajar jika terjadi sekali dua kali keterlambatan. Hanya saja keterlambatan kesibukan rutin nasabah. Tetapi jika terlambatnya sudah tidak wajar maka petugas bank harus waspada dan bertanya-tanya, apakah gerangan yang menyebabkan keterlambatan tersebut.


e.   Sering mengajukan permintaan penundaan pembayaran        
Umumnya jika tidak ada gangguan kelancaran usaha, maka pembayaran  kepada bank juga lancar. Namun kadang-kadang bank bisa mentolerir jika nasabah mohon dilakukan penundaan. Namun perlu juga diwaspadai, kemungkinan penundaan sebagai bentuk ketidak lancaran usahanya.


f.   Terjadi penyimpangan penggunaan kredit
Setiap penggunaan kredit sebelum direalisir dicantumkan dengan jelas dalam akad kredit tujuan penggunaannya. Jika terjadi penyimpangan, perlu diwaspadai akan mungkin terjadinya kredit bermasalah.


g.   Mengajukan perpanjangan kredit
Setiap terjadi perpanjangan bukan selalu berarti akan terjadi kredit bermasalah. Jika permohonan perpanjangan benar-benar demi kepentingan bisnis, seperti peningkatan omzet, melakukan kontrak bisnis dengan pihak ketiga, maka permohonan tersebut adalah wajar.  Tetapi jika alasan yang tidak jelas, maka perlu diwaspadai kemungkinan permohonan perpanjangan sebagai upaya menutupi ketidak mampuan nasabah mengembalikan kredit.


h.   Terlibat cek kosong
Melakukan penarikan cek dengan nilai tidak mencukupi adalah suatu gejala yang tidak sehat, bahkan bisa ditafsirkan sebagai karakter yang tidak baik dari pemilik rekening. Kalau nasabah melakukan ini perlu diingatkan bahwa dia telah berbuat sesuatu yang dapat menghilangkan kepercayaan yang telah diberikan kepadanya.


i.    Hubungan dengan bank semakin renggang
Nasabah dan bank sering diibatkan sebagai dua mitra yang saling membutuhkan bahkan ada yang mengibaratkan sebagai suami istri yang harus saling terbuka dan saling mendekati. Jika terjadi kerenggangan, perlu diwaspadai sebagai indikasi menurunnya kemampuan usaha nasabah.


j.    Enggan dikunjungi
Jika nasabah berada dalam situasi yang baik dan sehat dalam segala hal, ia merasa bangga dan senang dikunjungi. Sebaliknya jika ia merasa enggan dikunjungi, pasti ada sesuatu yang tidak beres. Bank harus mengejar permasalahan,ada apa dengan keengganannya  tersebut.

2. Perilaku Nasabah (customer attitudes)

Berdasarkan perilaku nasabah dapat dibaca situasi yang memberikan indikasi bahwa kredit yang diperoleh nasabah ada gejala bermasalah:


a).    Kesehatan nasabah memburuk
Menurunnya kesehatan fisik nasabah perlu diwaspadai. Karena dikhawatirkan menurun pula tingkat kegiatan kerja dan produktivitas perusahaan.


b).   Nasabah meninggal
Jika suatu usaha dipegang oleh seorang nasabah atau one man show, maka meninggalnya nasabah umumnya berakibat besar terhadap kelancaran usaha nasabah.


c).   Nasabah kalah judi
Kalah judi bisa memberikan akibat negatif dalam berbagai sendi kehidupan termasuk pada dunia usah nasabah.  Jika ada berita bahwa nasabah yang suka judi mengalami kekalahan,maka perlu diwaspadai kemungkinan menyerempet kepada penggunaan kredit bank.


d).   Terjadi sengketa rumah tangga
Jika sebuah bisnis dikelola oleh keluarga, maka masalah yang terjadi dalam rumah tangga berdampak besar terhadap perusahaan. Jika terjadi masalah rumah tangga nasabah, bank perlu waspada kemungkinan dampak ini kepada kelancaran kredit.


e).  Nasabah kawin lagi
Nasabah mau kawin lagi adalah urusan pribadi yang mungkin dicampuri oleh bank. Tetapi perlu diwaspadai, karena jika seorang dimabuk asmara, maka ia menjadi mata gelapakan permintaan sang buah hatinya.


f).   Telepon dari bank sering tidak dijawab
Jika lawan bicara kita enggan menjawab telepon, berarti ia enggan dihubungi. Jika seorang yang mempunyai kewajiban kepada bank, lalu enggan ditelepon bank, berarti ada apa- apanya dengan kewajibannya tersebut.


g).   Membeli aktiva tetap yang konsumtif
Ada kebiasaan seseorang yang suka dengan kemewahan atau tidak mau ketinggalan mode. Ia selalu ingin mengganti peralatan rumah tangganya dengan hal yang baru, seperti sofa, kursi ukir, rumah baru, villa, sedan mutakhir.


h).   Nasabah mempunyai kegiatan tertentu
Jika nasabah melakukan kegiatan istimewa dan luar biasa serta diperkirakan menggunakan dana yang cukup besar, perlu juga diwaspadai, seperti:
~ Dicalonkan sebagai lurah, serta aktif dalam
    kampanye pemilihan tersebut.
~ Aktif dalam kegiatan politik dan
   mengeluarkan biaya untuk kampanye
   golongannya.


3. Perilaku Kegiatan Bisnis ( Business activities attitudes )                      


Berdasarkan perilaku bisnis nasabah dapat dibaca situasi yang memberikan indikasi bahwa kredit yang diperoleh nasabah ada gejala bermasalah. 

Hubungan dengan pengecer menurun. Menurunnya hubungan antara perusahaan nasabah dengan pengecernya, perlu diwaspadai. Mungkin terdapat kekecewaan para pengecer mengenai diskon,pelayanan, tingkat harga, persyaratan yang memberatkan. Jika ini terjadi maka hal ini perlu dicemaskan, bahwa kemampuan nasabah dalam pemasaran akan menurun pula. penyebabnya antara lain :


Hubungan dengan pelanggan memburuk     
Pelanggan adalah pihak yang membuat perusahaan hidup. Jika hubungan dengan para pelanggan karena berbagai hal seperti, pelayanan buruk, harga mahal, mutu rendah, maka masa depan perusahaan bisa memburuk pula.


Harga jual terlampau rendah
Rendahnya harga jual jika itu ditafsirkan sebagai murah, maka dapat diartikan sebagai hal yang positif. Tetapi murahnya harga jual karena tidak ada alternatif lain untuk menghadapi persaingan, maka tindakan ini dapat membahayakan kemampuan perusahan memperoleh keuntungan.

Kehilangan hak sebagai distributor   
Jika nasabah adalah sebagai distributor, maka selagi ia tetap menjadi distributor berarti selama itu memperoleh kepercayaan dari produsernya. Jika ia tidak lagi menjadi distributor perlu dipertanyakan, dikhawatirkan ia akan kehilangan kepercayaan, dan akan kehilangan sumber penghasilannya.


Kehilangan pemasok utama
Kehilangan pemasok utama dapat mengancam kelancaran usaha nasabah. Kehilangan ini dapat terjadi dengan berbagai alasan, antara lain karena hilangnya kepercayaan apemasok kepada nasabah.
Kehilangan pelanggan utama
Kehilangan pembeli utama dapat memukul suatu perusahaan, sehingga dapat menurunkan secara drastis penjualannya.


Mulai terlibat spekulasi bisnis
Jika suatu perusahaan mencoba usaha lain yang bersifat spekulatif, maka hal itu perlu diwaspadai sebagai gejala yang tidak sehat terhadap masa depan kredit. Sebagai contoh perusahaan real estate yang memperoleh kredit untuk membangun rumah,lalu menanamkan sebagian besar dananya pada pembelian tanah, dengan harapan bisa dijual nantinya dengan harga mahal. Tindakan ini mungkin dalam jangka panjang bisa menguntungkan nasabah, tetapi bagi bank akan mengganggu kelancaran kredit jangka pendek.


Hubungan dengan bank semakin renggang
Nasabah dan bank sering diibatkan sebagai dua mitra yang saling membutuhkan,bahkan ada yang mengibaratkan sebagai suami istri yang harus saling terbuka dan saling mendekati. Jika terjadi kerenggangan, perlu diwaspadai sebagai indikasi menurunnya kemampuan usaha nasabah.


Enggan dikunjungi
Jika nasabah berada dalam situasi yang baik dan sehat dalam segala hal, ia merasa bangga dan senang dikunjungi. Sebaliknya jika ia merasa enggan dikunjungi, pasti ada sesuatu yang tidak beres. Bank harus mengejar permasalahan,ada apa dengan keengganannya  tersebut.


Keterlibatan dengan usaha lain
Pengembangan usaha itu adalah wajar saja. Tetapi pengembangan usaha sebagai pelarian dari usaha semula,merupakan indikasi bahwa ia telah gagal dalam usaha pokok yang telah dibiayai oleh bank.
Ada informasi negatif dari pihak luar
Selagi dari pelanggan nasabah merasa puas, maka bank boleh merasa lega akan kelancaran usaha nasabahnya. Tetapi jika terdapat informasi negatif dari pelanggan perlu diwaspadai,  karena hal itu bisa menjalar dan mengakibatkan nasabah kehilangan pelanggannya, yang berarti akan berada diambang kerugian.


Ada klaim dari pihak ketiga
Adanya tuntutan pihak ketiga perlu diwaspadai sebagai indikasi bahwa kreditnya akan bermasalah, seperti :

~ Klaim pelanggan yang merasa telah  
   dirugikan karena produknya telah
   mengecewakan dan merugikan nasabahnya.
~ Klaim relasi bisnis yang talah merasa
   dirugikan, sehingga hal itu bisa berbuntut
   panjang menjadi perkara dipengadilan.

~ Ada pemogokan buruh
    Pemogokan buruh jika dapat diatasi dengan
    baik,maka hal itu mungkin belum
    menimbulkan masalah,tetapi jika
    berlangsung lama dapat melumpuhkan
    perusahaan.Atau mungkin diperoleh kata
    sepakat, misalnya diterimanya usul kenaikan
    upah dan gaji buruh,mungkin mengganggu
    cash flow yang sudah dirancang saat
    pengajuan permohonan kredit.


Nilai agunan menurun
Menurunnya nilai agunan mungkin diakibatkan oleh berbagai peristiwa  dan masalah :


~ Kurangnya perawatan terhadap barang
    agunan.


~ Sebagian barang agunan sengaja telah
    dirusak atau dijual kepada pihak lain.


~ Terjadi sengketa diantara pemilik.
   


Terjadi perselisihan di antara pengurus
Adanya perselisihan di antara para pengurus perusahaan atau para anggota direksi,perlu diwaspadai karena ini menyangkut kelancaran dan masa depan perusahan nasabah.


Perubahan mendadak dalam manajemen
Terjadinya perubahan manajemen secara mendadak, apalagi jika tidak diketahui bank perlu diamati. Jika perubahan itu menjurus kepada hal yang positif,  maka hal itu pasti pula memberikan akibat positif bagi kredit bank. Tetapi perubahan mendadak karena adanya pergeseran, dapat memberikan akibat berubahnya berbagai kebijakan peusahaan yang telah disepakati antara bank dan nasabah.


Agunan hilang
Turunnya atau hilangnya sebagian agunan perlu diwaspadai sebagai indikasi kredit bermasalah. Karena nasabah yang jujur dan sukses tidak akan menemukan masalah tersebut.


Terlalu optimis dengan laba
Nasabah yang terlalu optimis terhadap perolehan laba perlu diwaspadai, karena optimis yang berlebihan,nanti justu akan membuahkan kekecewaan dan kerugian bagi semua pihak.


Nasabah alih usaha pokok
Jika usaha nasabah beralih kepada jenis usaha lain, berarti terdapat ketidakmampuan nasabah mengelola jenis usaha yang telah dibiayai bank. Dan hal ini juga dapat dikategorikan sebagai penyimpangan penggunaan kredit.


Mencari pinjaman baru
Jika nasabah berusaha mencari pinjaman baru, maka hal ini merupakan indikasi bahwa ia kekurangan dana atau likuiditas.


Terjadi kejenuhan pasar
Terjadinya kejenuhan pasar dapat berakibat lesuhnya penjualan.Selanjutnya bermuara pada turunnya kemampuan nasabah dalam membayar kreditnya kepada bank.


Biaya produksi naik
Naiknya biaya produksi perlu diwaspadai, karena bisa mengganggu tingkat keuntungan,yang selanjutnya menggaggu kemampuan nasabah dalam mengembalikan kredit kepada bank.


BAB 3.


KREDIT BERMASALAH


Materi :

• Prinsip Kehati-hatian

• Penggolongan Kredit Bermasalah

• Penyebab Kredit Bermasalah

• Penyelamatan Kredit Bermasalalh
• Penyelesaian Kredit Bermasalah


KREDIT BERMASALAH


Dalam paket kebijakan deregulasi bulan Mei tahun 1993 (PAKMEI 1993), di Indonesia dikenal dua golongan kredit bank, yaitu kredit lancar dan kredit bermasalah. Di mana kredit bermasalah digolongkan menjadi tiga, yaitu kredit kurang lancar, kredit diragukan, dan kredit macet. Kredit macet inilah yang sangat dikhawatirkan oleh setiap bank, karena akan mengganggu kondisi keuangan bank, bahkan dapat mengakibatkan berhentinya kegiatan usaha bank.


Menurut S. Mantayborbir, et al, suatu kredit dikatakan bermasalah karena debitur wanprestasi atau ingkar janji atau tidak menyelesaikan kewajibanya sesuai dengan perjanjian baik jumlah maupun waktu, misalnya pembayaran atas perhitungan bunga maupun utang pokok.


Subarjo Joyosumarto mengemukakan:
Kredit bermasalah adalah yang angsuran pokok dan bunganya tidak dapat dilunasi selama lebih dari 2 masa angsuran ditambah 21 bulan, atau penyelesaian kredit telah diserahkan kepada pengadilan atau Badan Urusan Piutang Lelang Negara atau telah diajukan ganti rugi kepada perusahaan ansuransi kredit.


Kredit macet atau problem loan adalah kredit yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor-faktor atau unsur kesengajaan atau karena kondisi di luar kemampuan debitur.
Suatu kredit digolongkan ke dalam kredit macet apabila :

1.  Tidak dapat memenuhi kriteria kredit lancar, kredit kurang lancar dan kredit diragukan atau

2. Dapat memenuhi kriteria kredit diragukan, tetapi setelah jangka waktu 21 bulan semenjak masa penggolongan kredit diragukan, belum terjadi pelunasan pinjaman, atau usaha penyelamatan kredit atau

3.   Penyelesaian pembayaran kembali kredit yang bersangkutan, telah diserahkan kepada pengadilan negeri atau Badan Urusan Piutang Negara (BUPN), atau telah diajukan permintaan ganti rugi kepada perusahaan asuransi kredit.


Ada beberapa pengertian kredit bermasalah, yaitu:


1. Kredit yang di dalam pelaksanaannya belum mencapai/memenuhi target yang diinginkan oleh pihak bank


2. Kredit yang memiliki kemungkinan timbulnya risiko di kemudian hari bagi bank dalam arti luas


3. Mengalami kesulitan di dalam penyelesaian kewajiban-kewajibannya, baik dalam bentuk pembayaran kembali pokoknya dan/atau pembayaran bunga, denda keterlambatan serta ongkos-ongkos bank yang menjadi beban debitur yang bersangkutan


4. Kredit di mana pembayaran kembalinya dalam bahaya, terutama apabila sumber-sumber pembayaran kembali yang diharapkan diperkirakan tidak cukup untuk membayar kembali kredit, sehingga belum mencapai/memenuhi target yang diinginkan bank


5. Kredit di mana terjadi cedera janji dalam pembayaran kembali sesuai perjanjian, sehingga terdapat tunggakan, atau ada potensi kerugian di perusahaan debitur sehingga memiliki kemungkinan timbulnya risiko di kemudian hari bagi bank dalam arti luas


6. Mengalami kesulitan di dalam penyelesaian kewajiban-kewajibannya terhadap bank, baik dalam bentuk pembayaran kembali pokoknya, pembayaran bunga, pembayaran ongkos-ongkos bank yang menjadi beban nasabah/debitur yang bersangkutan


7. Kredit golongan perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet serta golongan lancar yang berpotensi menunggak.


Bagi bank semakin dini menganggap kredit yang diberikan menjadi bermasalah, semakin baik karena akan berdampak semakin dini pula dalam upaya penyelamatannya sehingga tidak terjlanjur parah yang berakibat semakin sulit penyelesaiannya.


Prinsip Kehati-hatian


Prinsip kehati-hatian merupakan prinsip yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati- hati dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (UU Perbankan), menyatakan Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.


Dari berbagai literatur dinyatakan kehati-hatian berasal dari kata hati-hati (prudent) yang erat kaitannya dengan fungsi pengawasan bank dan manajemen bank. Prudent dapat juga diartikan bijaksana. Jadi prinsip kehati-hatian perbankan (prudrent banking principle) adalah suatu asas atau prinsip yang menyatakan bahwa bank atau lembaga dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian (prudent) dengan mengenal customer dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya, dengan mengharapkan kadar kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan tetap tinggi, sehingga masyaakat bersedia dan tidak ragu–ragu menyimpan dananya di bank.


Selain diatur dalam Pasal 2 UU Perbankan, prinsip kehati-hatian juga diatur dalam Pasal 29 ayat (2) UU Perbankan yang menyatakan: 
Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubung-an dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.


Penerapan prinsip kehati-hatian juga diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah yaitu:

1. Bank Syariah dan Unit-Unit Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian.

2. Bank Syariah dan Unit-Unit Syariah wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan laba rugi tahunan serta penjelasannya yang disusun berdasarkan prinsip akuntasi syariah yang berlaku umum, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.

3. Neraca dan perhitungan laba rugi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib terlebih dahulu diaudit oleh kantor akuntan publik.

4. Bank Indonesia dapat menetapkan pengecualian terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah


Dari paparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa setiap Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan usahanya dan wajib menjunjung tinggi serta berpegang teguh pada prinsip ini. Segala perbuatan bank haruslah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.


PENGGOLONGAN KREDIT BERMASALAH 


Berbagai jenis dan/atau penggolongan kredit yang telah dikembangkan perbankan hingga saat ini cukup banyak dan sangat beragam. Berikut ini adalah beberapa di antaranya :


Berdasarkan Jangka Waktu
Berdasarkan jangka waktu, kredit dibedakan menjadi beberapa jenis berikut ini :


Jangka Pendek, apabila tenggang waktu yang diberikan bank kepada nasabahnya untuk melunasi kredit tidak lebih dari satu tahun.
Contoh: kredit modal kerja perdagangan, industri, dan sektor lainnya.


Jangka Menengah, apabila kredit yang diberikan berjangka waktu lebih dari satu tahun sampai dengan tiga tahun.
Contoh: kredit investasi untuk pembelian kendaraan, KMK untuk konstruksi.


Jangka Panjang, apabila jangka waktu kredit yang diberikan lebih dari 3 tahun.
Contoh: kredit investasi untuk pembangunan pabrik hotel, jalan tol.

Berdasarkan Sifat Penggunaan

Berdasarkan sifat penggunaan, kredit dibedakan menjadi beberapa jenis berikut ini :

Kredit Konsumtif,
apabila kredit yang diberikan tersebut oleh nasabahnya (biasanya perorangan) dipergunakan untuk membiayai barang-barang konsumtif.
Contohnya, pembelian mobil untuk keperluan pribadi. Sumber pembayarannya biasanya berasal dari gaji atau pendapatan lainnya, bukan dari objek yang dibiayainya. Beberapa kredit yang termasuk dalam jenis kredit konsumtif, antara lain :
a). Kartu kredit, fasilitas pinjaman tanpa agunan yang diberikan kepada perorangan pemilik kartu yang diterbitkan oleh bank tertentu setelah aplikasi permohonan kartu kreditnya di setujui/di-approve oleh bank yang bersangkutan;
b). Kredit perumahan, fasilitas kredit untuk pembelian/pembangunan/renovasi rumah tinggal, rumah susun, ruko, rukan, apartemen, dan villa atau untuk pembelian kavling/tanah matang, atau untuk refinancing, dengan jaminan berupa objek yang dibiayai;
c). Kredit mobil, fasilitas kredit untuk pembelian kendaraan bermotor roda 2 baru atau roda 4 baru atau refinancing roda 4, dengan jaminan berupa kendaraan bermotor yang dibiayai tersebut;
d). Kredit multiguna, fasilitas kredit untuk segala keperluan yang bersifat konsumtif, dengan jaminan tanah berikut bangunan tempat tinggal.


Kredit Komersial,
merupakan kredit yang oleh nasabahnya (perorangan atau badan usaha) dipergunakan untuk membiayai kegiatan usaha. Sumber pembayarannya berasal dari usaha yang dibiayainya itu. Beberapa kredit yang termasuk dalam jenis kredit komersial adalah
a). Kredit mikro, fasilitas kredit yang diberikan untuk membiayai kegiatan usaha mikro;
b). Kredit usaha kecil, fasilitas kredit yang diberikan untuk membiayai kegiatan usaha kecil;
c). Kredit usaha menengah, fasilitas kredit yang diberikan untuk membiayai kegiatan usaha menengah;
d). Kredit korporasi, fasilitas kredit yang diberikan untuk membiayai kegiatan usaha perusahaan/korporasi. Penentuan besar kecilnya kredit mikro, kecil, dan menengah ditentukan oleh kebijakan masing-masing bank.



Berdasarkan Keperluan

Berdasarkan keperluannya, kredit dibedakan menjadi beberapa jenis berikut ini :
a). Kredit Modal Kerja,
kredit yang dipergunakan untuk menambah modal kerja suatu perusahaan, seperti pembelian bahan baku, biaya-biaya produksi, pemasaran, dan modal kerja untuk operasional lainnya.
b). Kredit Investasi,
kredit jangka menengah atau jangka panjang untuk pembelian barang-barang modal beserta jasa yang diperlukan untuk rehabilitasi, modernisasi, maupun ekspansi proyek yang sudah ada atau pendiri proyek yang akan ada.
c). Kredit Pembiayaan Proyek (Project Financial),
kredit yang digunakan untuk pembiayaan investasi maupun modal kerja untuk proyek baru.


Berdasarkan Sifat Penarikan

Berdasarkan sifat penarikannya, kredit dibedakan menjadi beberapa jenis berikut ini :


~ Kredit Langsung, kredit yang langsung
   menggunakan dana bank secara efektif
   merupakan utang nasabah kepada bank.
   Kredit langsung ini meliputi Kredit Investasi
   dan Kredit Modal Kerja.


~ Kredit Tidak Langsung, kredit yang tidak
    langsung menggunakan dana bank dan
    belum secara efektif merupakan utang
    nasabah kepada bank. Kredit tidak langsung
    ini meliputi Bank Garansi dan Letter of
    Credit.

Berdasarkan Sifat Pelunasan

Berdasarkan sifat pelunasannya, kredit dibedakan menjadi beberapa jenis berikut :


~ Kredit dengan angsuran, kredit yang
    pembayarannya kembali pokok pinjamannya
   diatur secara bertahap menurut jadwal yang
   telah ditetapkan di dalam Perjanjian Kredit.

~ Kredit dibayarkan sekaligus saat jatuh
    tempo, kredit yang pembayarannya kembali
    pokok pinjamannya tidak diatur secara
    bertahap, tetapi harus dikembalikan secara
    sekaligus. Pada tanggal jatuh tempo yang
    telah ditetapkan di dalam Perjanjian Kredit.

Berdasarkan Valuta

Kredit dapat diberikan dalam valuta rupiah atau mata uang lainnya, seperti dolar AS, yen, atau sesuai dengan keperluan usaha nasabah. Contohnya, nasabah eksportir akan membutuhkan kredit dalam valuta dolar AS mengingat hasil ekspornya berupa dolar AS.


Berdasarkan Metode Pembiayaan

Berdasarkan metode pembiayaan, kredit dapat dibedakan menjadi beberapa jenis berikut ini :


~ Kredit Bilateral, kredit yang dibiayai oleh
   hanya satu bank.


~ Kredit Sindikasi, kredit yang diberikan oleh
   dua atau lebih lembaga keuangan untuk
   membiayai suatu proyek/usaha dengan
   syarat-syarat dan ketentuan yang sama,
   menggunakan dokumen yang sama, dan
   diadministrasikan oleh agen yang sama.

Ciri-ciri umum Kredit Sindikasi adalah:


~ Jumlah kredit biasanya meliputi jumlah yang
    besar;

~ Jangka waktu pemberian biasanya
    menengah atau panjang;


~  Diberikan lebih dari satu pemberi kredit
    sebagai peserta sindikasi kredit;


~ Tanggung jawab peserta sindikasi tidak
    bersifat tanggung renteng, di mana masing-
    masing peserta sindikasi hanya bertanggung
    jawab untuk bagian jumlah kredit yang
    menjadi komitmennya;


~ Ditunjuk salah satu partisipan sebagai agent
   (misalnya, facility agent dan/atau security
   agent) yang mengadministrasikan kredit
   sindikasi.

Berdasarkan Lokasi Bank

Berdasarkan lokasi bank, kredit dibedakan menjadi beberapa jenis berikut ini :

Kredit Onshore, kredit yang diberikan kepada nasabah di dalam negeri dalam bentuk valuta asing dan dilaksanakan melalui cabang bank di dalam negeri.

Kredit Offshore, kredit yang diberikan kepada nasabah di dalam negeri dalam bentuk valuta asing dan dilaksanakan melalui cabang di luar negeri.


Berdasarkan Cara Penarikan

Berdasarkan cara penarikannya, kredit dibedakan menjadi beberapa jenis :

Sekaligus, penarikan kredit yang dilaksanakan satu kali sebesar limit kredit yang telah disetujui setelah seluruh ketentuan dipenuhi, dengan cara tunai atau dipindahbukukan ke rekening tabungan/giro milik debitur.
Bertahap sesuai jadwal yang ditetapkan, penarikan dilaksanakan sesuai jadwal yang ditetapkan oleh bank, baik berdasarkan tingkat penyelesaian proyek maupun kebutuhan pembiayaan debitur.
Rekening Koran (revolving) atau penarikan sesuai kebutuhan, penarikan kredit yang dapat dilaksanakan lebih dari satu kali sebesar kebutuhan debitur pada saat penarikan setelah seluruh ketentuan dipenuhi, dengan cara tunai atau dipindahbukukan ke rekening tabungan/giro milik debitur.



PENYEBAB KREDIT BERMASALAH 


Kredit macet atau non performing loan (NPL), menjadi salah satu penyakit yang bisa menghambat perkembangan sektor jasa keuangan. Apa yang menjadi penyebab terjadinya hal tersebut. Kredit macet disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal.


Faktor internal penyebab timbulnya kredit macet adalah penyimpangan dalam pelaksanaan prosedur perkreditan, itikad kurang baik dari pemilik, pengurus, atau pegawai bank, lemahnya sistem administrasi dan pengawasan kredit serta lemahya sistem informasi kredit macet.


Sedangkan faktor eksternal penyebab timbulnya kredit macet adalah kegagalan usaha debitur, musibah terhadap debitur atau terhadap kegiatan usaha debitur, serta menurunnya kegiatan ekonomi dan tingginya suku bunga kredit.


Selain faktor-faktor diatas penyebab lainnya yang mempengaruhi terjadinya kredit macet antara lain :


1. Kelemahan dalam analisa kredit, ini bisa disebabkan oleh berbagai hal diantaranya yaitu lemahnya kebijakan dan sop analisa kredit, kurangnya kemampuan pegawai dalam menganalisa kredit dan kurangnya informasi yang diterima bank.


2. Bank terlalu ekspansif, untuk mengejar target penyaluran kredit bank mengabaikan aspek analisa yang baik atau menurunkan tingkat kehati-hatiannya.


3. Riwayat nasabah, riwayat nasabah menjadi satu-satunya dasar keputusan kredit, sehingga mengabaikan analisa kredit.


4. Asal ada agunan, bank hanya melihat agunan sebagai dasar keputusan pemberian kredit, sehingga faktor-faktor analisa yang lainnya terabaikan.


5. Realisasi kredit yang tidak tepat waktu, keputusan dan pencairan kredit yang terlalu lama, menyebabkan nasabah tidak dapat mengalokasikan dananya sesuai dengan kebutuhannya.


6. Plafon kredit yang tidak sesuai kebutuhan nasabah. Plafon kredit yang terlalu kecil menyebabkan nasabah tidak dapat menggunakan dananya dengan optimal, sehingga mungkin akan menghambat usahanya. Sedangkan plafon kredit yang terlalu besar menyebabkan nasabah tidak dapat memenuhi kewajibannya.

Kerugian Kredit Macet

Kredit macet mempunyai dampak negatif bagi kedua belah pihak, baik itu bank ataupun nasabah. Bagi nasabah dampaknya adalah dia harus menanggung kewajiban yang cukup berat kepada bank. Mengingat setiap pinjaman dari bank (konvensional) mengandung bunga, maka jumlah kewajiban nasabah semakin lama akan semakin bertambah besar jika belum dilunasi.


Sedangkan bank dampaknya jauh lebih serius karena selain dana yang disalurkan untuk kredit berasal dari masyarakat, kredit macet juga mengakibatkan bank kekurangan dana sehingga mempengaruhi kegiatan usaha bank.


PENYELAMATAN KREDIT BERMASALAH 


Kredit harus lunas saat jatuh tempo, namun dapat diperpanjang bila masih dibutuhkan. Jika kredit tidak dapat dilunasi saat jatuh tempo dan/atau kredit menjadi bermasalah, bank harus segera melakukan penyelamatan kredit. Penyelamatan kredit adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh bank terhadap debitur kredit bermasalah yang masih mempunyai prospek dan kinerja usaha serta kemampuan membayar, dengan tujuan untuk meminimalkan kemungkinan timbulnya kerugian bagi bank dan menyelematkan kembali kredit yang telah diberikan.Beberapa cara pendekatanyang dapat di pertimbangkan dalam upaya penyelamatan kredit bermasalah antara lain sebagai berikut :


1. RESCHEDULING ( penjadwalan ulang)
Yaitu perubahan persayratan kredit yang hanya menyangkut jadwal pembayaran dan jangka waktu kredit. Kredit yang memperoleh fasilitas rescheduling hanyalah debitur yang memenuhi persyaratan tertentu antra lain : 
usaha debitur memeiliki prospek untuk
  bangkit kembali.
• debitur menunjukan itikad baik.
yaitu memiliki willingness to pay dan adanya kenyakinan bahwa debitur tetap berminta dan beniat untuk terus mengelolah usahanya.
Dalam proses rescheduling ini tunggakan pokok dan bunga di jumlahkan (dikapitalisasi) untuk kemudain di jadwalkan kembali pembayaran untuk di buat perjanjian rescheduling tersendiri


2. RECONDITIONING (Persyaratan ulang)
Yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran , jangka waktu , dan persyaratan lainya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimal saldo kredit
Dalam reconditioning ini dapat pula diberikan kepada debitur keringan berupa pembebasan sebagian bunga tertunggak atau penghentian perhitungan binga bagi debitur yang bersifat jujur , terbuka dan cooperative serta usahanya masih potensial dapat beroperasi dengan menguntungkan namun mengalami kesulitan keuangan.


3. RESTRUCTURING (Penataan ulang)
Yaitu perubahan syarat-syarat kredit yang menyangkut penambahan dana bank , konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menkadi pokom kredit baru atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan , yang dapat di serta dengan penjadwalan kembali atau persyaratan kembali.


4. EKSEKUSI BARANG JAMINAN
Yaitu penjualan barang-barang yang dijadikan jaminan dalam rangka pelunasan hutang. Pelaksanaan ini di lakukan terhadap katagori kredit yang memang benar-benar menurut bank usaha debitur sudah tidak ada lagi di bantu untuk di sehatkan kembali atau usaha nasabah yang sudah tidak memiliki prospek untuk di kembangkan.
Apabila hal ini terjadi bank menyarankan agar nasabah menjual jaminannya berdasarkan kesepakatan , kedua belah pihak dengan mencari pembeli yang potensial. Harga penjualan pada dasarnya harus atas kesepakatan kedua belah pihak. Atau dapat menyerahkan penjualan barang jaminan tersebut kepada debitur untuk mendapatkan harga terbaik dengan ketentuan dan proses dan cara pembayaran tetap di kuasai bank. Apabila ternyata hasil penjualan tersebut berlebih , maka sisa penjualan barang jamian dapat di kembalikan kepada debitur.
Namun apabila harga penjualan tidak mencukupi menutup keseluruan kewajiban debitur maka bank dapat menempuh dua kebijakan yaitu :


Pertama : bank membebaskan atau menghapus sisa utang


Kedua : sisa utang debitur tetap di bukukan dengan harapan suatu ketika dapat melunasi kewajiabannya.


Bagi bank milik pemerintah , proses penyelesaian kredit macet menurut ketentuan serahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara


PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH


penyelesaian kredit macet merupakan upaya yang dilakukan oleh bank untuk menyelesaikan kredit bermasalah yang tidak memiliki prospek setelah usaha pembinaan, penyelamatan dan cara lain tidak dimungkinkan lagi dalam rangka mencegah kerugian yang lebih besar.


Upaya penyelesaian kredit ditujukan kepada debitur sudah dianggap non-­‐ potensial dan/atau tidak kooperatif. 


STRATEGI PENYELESAIAN KREDIT MACET

Penjualan aset jaminan

Penjualan barang jaminan milik Debitur (di bawah tangan) dengan menggunakan surat kuasa untuk menjual dari pemilik Agunan harus dilakukan penilaian terlebih dahulu untuk mendapatkan nilai wajar atas aset yang dijual. Penilaian dapat dilakukan oleh pihak internal maupun pihak eksternal. Hasil penjualan kemudian digunakan untuk melunasi utang kepada Bank.

Syarat untuk melakukan penjualan aset jaminan/likuidasi:


~ Debitur memiliki itikad baik


~  Sarana produksi tidak berfungsi namun 
     masih memiliki nilai jual


~  Ada pihak/investor yang berminat


~  Manajemen/pengurus tidak profesional


Novasi

Novasi adalah pembaruan utang yang disertai dengan di hapusnya perikatan yang lama kemudian diganti dengan perikatan yang baru.


Terdapat 2 (dua) bentuk novasi, sebagai berikut:

1.  Novasi Subjektif (subyek/para pihak yang
     diganti), Kreditur lama dalam perikatan yang
     lama diganti oleh pihak ketiga sebagai
     Kreditur  dalam perikatan yang baru (Novasi
      Subjektif Aktif).

Debitur yang lama dalam perikatan yang lama diganti oleh pihak ketiga lain sebagai Debitur baru dalam perikatan yang baru (Novasi Subjektif Pasif).


2. Novasi Objektif (obyek/perikatan yang
    diganti) Perikatan lama hapus dan diganti
    perikatan yang baru.



Subrogasi

Penggantian hak-­‐hak Bank oleh pihak ketiga karena adanya pembayaran utang Debitur oleh pihak ketiga tersebut kepada Bank. Perikatan piutang antara Bank dengan Debitur tidak di hapus, demikian pula semua janji yang melekat pada perikatan lama tetap utuh dan berpindah kepada Kreditur baru yang melakukan pembayaran tersebut.
Terdapat 2 (dua) bentuk subrogasi, yaitu sebagai berikut:


1). Seluruh hutang Debitur dilunasi oleh
      Kreditur lain dan Kreditur sebelumnya
      menyerahkan seluruh jaminan kredit yang    
      ada kepada Kreditur baru


2). Sebagian hutang Debitur diambil alih oleh
      Kreditur lain (purchased loan, joint
      financing, sindikasi, konsorsium) dimana
      jaminan yang ada di ikat secara paripasu.

Eksekusi agunan

Eksekusi agunan dilakukan apabila nasabah tidak mempunyai itikad baik ataupun sudah tidak mampu lagi membayar semua kewajibannya.


Eksekusi guarantee dan security lainnya

Eksekusi guarantee dan security milik Debitur dapat dilakukan oleh Bank tanpa persetujuan Debitur. Sebelum dilakukannya pengalihan dan lelang, Bank melakukan penilaian terhadap aset untuk mendapatkan nilai wajar terhadap aset yang akan dialihkan tersebut. Penilaian tersebut dapat dilakukan oleh penilai internal Bank atau pihak eksternal.Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan Kepailitan

PKPU

PKPU merupakan alternatif penyelesaian hutang untuk menghindari kepailitan. PKPU adalah suatu periode waktu tertentu yang diberikan oleh undang-­‐undang melalui putusan pengadilan niaga, dimana dalam periode waktu tersebut kepada Kreditur dan Debitur diberikan kesepakatan untuk memusyawarahkan cara-­‐cara pembayaran utang-­‐utangnya dengan memberikan rencana perdamaian (composition plan) terhadap seluruh atau sebagian utangnya itu, termasuk apabila perlu merestrukturisasi hutangnya tersebut. Dengan demikian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan semacam moratorium dalam hal ini legal moratorium.

Kepailitan

Kepailitan menurut UU Kepailitan diartikan sebagai sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-­‐Undang. Kepailitan terjadi setelah masa PKPU berakhir dan tidak tercapai kesepakatan antara Debitur dan Kreditur. Syarat-­‐syarat Kepailitan menurut undang-­‐undang adalah adanya debitor yang mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya 1 (satu) utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan.

Litigasi

Litigasi adalah proses menyelesaikan perselisihan hukum di pengadilan di mana setiap pihak yang bersengketa mendapatkan kesempatan untuk mengajukan gugatan dan bantahan.
Berikut adalah beberapa cara penyelesaian kredit bermasalah secara litigasi, antara lain:

Mengajukan gugatan ke pengadilan

Mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri dengan ketentuan Hukum Acara Perdata. Kreditur atau Bank dapat memberikan somasi atau peringatan kepada Debitur agar ia memenuhi kewajiban, namun somasi secara yuridis tidak mempunyai akibat hukum yang memaksa pada Debitur.
“Apabila somasi itu tidak ditanggapi oleh Debitur, maka Kreditur atau Bank dapat melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri.” Kemudian apabila terbukti, hakim akan mengeluarkan keputusan Pengadilan yang tetap atau pasti. Namun bila tergugat atau ebitur tidak melaksanakan putusan pengadilan, Kreditur atau penggugat dapat mengajukan permohonan eksekusi dan melakukan sita eksekusi untuk selanjutnya melelang harta tergugat sehingga hasil lelangan dapat digunakan untuk melunasi hutang tergugat.

Melalui Pengadilan Niaga

Untuk penyelesaian pengadilan niaga hal ini dilakukan dengan cara mengajukan kepailitan atau PKPU dengan dasar hukum (UU No. 37 tahun 2004 Pasal 2 jo. Pasal 1131 KUH Perdata). Melaporkan Debitur kepada kepolisian Untuk menekan Debitur bilamana Bank menemukan Debitur melakukan data fiktif dalam mengajukan pinjaman.

HAPUS BUKU DAN HAPUS TAGIH

Hapus buku/write off adalah pinjaman atau kredit macet yang tidak dapat ditagih lagi dihapusbukukan dari neraca (on-­‐balance sheet) dan dicatat pada rekening administratif (off-­‐balance sheet). Sedangkan hapus tagih adalah Bank meniadakan upaya penagihan atas kewajiban Debitur yang telah di hapus buku. Berikut ini adalah beberapa ketentuan mengenai hapus buku dan hapus tagih:


Hapus buku dan/atau hapus tagih hanya dapat dilakukan untuk kualitas kredit macet dan telah didukung 100% CKPN


Hapus buku dan/atau hapus tagih dapat dilakukan setelah Bank melakukan upaya untuk memperoleh kembali Aset Produktif


Hapus buku tidak diperkenankan hapus buku sebagian (partial write off)


Hapus tagih dapat dilakukan untuk sebagian atau seluruh penyediaan dana (dalam rangka restrukturisasi/penyelesain kredit)

Penghapusan buku pinjaman atau kredit macet tersebut dibebankan pada akun penyisihan penghapusan aktiva produktif, meskipun pinjaman macet tersebut telah dihapusbukukan, hal ini hanya bersifat administratif sehingga penagihan terhadap debitur tetap dilakukan.


Hasil tagihan pokok pinjaman dibukukan ke rekening penyisihan penghapusan aktiva produktif, sedangkan tagihan bunga dibukukan sebagai pendapatan lain.
Dampak positif strategi recovery kredit hapus buku terhadap laba Bank adalah:
Menurunkan biaya melalui konversi recovery terhadap Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA),Meningkatkan laba dengan berkurangnya Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA)


BAB 4

PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN

BANK UMUM
Materi :
• Pengertian Tingkat Kesehatan Bank
• Penilaian terhadap Faktor CAMELS
• Beberapa Istilah Rasio Keuangan Faktor
  CAMELS
• Penentuan Peringkat Komposit (PK)
• Permintaan Action Plan Langkah Perbaikan


PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM


Kesehatan merupakan hal yang paling penting di dalam berbagai bidang kehidupan, baik bagi manusia maupun perusahaan. Kondisi yang sehat akan meningkatkan gairah kerja dan kemampuan kerja serta kemampuan lainnya. Sama seperti halnya manusia yang harus selalu menjaga kesehatannya, perbankan juga harus selalu dinilai kesehatannya agar tetap prima dalam melayani para nasabahnya. Bank yang tidak sehat, bukan hanya membahayakan dirinya sendiri, akan tetapi pihak lain. Penilaian kesehatan bank amat penting disebabkan karena bank mengelola dana dari maasyarakat yang dipercayakan kepada bank. Masyarakat pemilik dana dapat saja menarik dana yang dimilikinya setiap saat dan bank harus sanggup mengembalikan dana yang dipakainya jika ingin tetap dipercaya oleh nasabahnya.


PENGERTIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM


Pengertian tentang kesehatan bank meliputi Kemampuan menghimpun dana masyarakat dari lembaga lain dan dari modal sendiri Kemampuan mengolah dana,Kemampuan untuk menyalurkan dana ke masyarakatKemampuan memenuhi kewajiban kepada masyarakat, karyawan, pemilik modal dan pihak lain :


Aturan Kesehatan Perbankan


Berdasarkan Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia. UU tersebut lebih lanjut menetapkan bahwa :


Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai ndengan ketentuan kecukupan modal, kualitas asset, kualitas manajemen, likuiditas, solvabilitas & aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank
Bank wajib menyampaikan kepada BI segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya menurut tata cara yang ditetapkan oleh BI

Bank atas permintaan BI, wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaanbuku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya serta wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen dan penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang bersangkutan.

Bank Indonesia melakukan pemeriksaaan terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan, BI dapat menugaskan akuntan publikuntuk dan atas nama bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan terhadap bank.

Bank wajib menyampaikan kkca, perhitungan laba rugi tahunan dan penjelasannya, serta laporan berkala lainnya dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh BI. Neraca dan perhitungan laba rugi dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan BI.




BAB 4.

PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM

Materi :
• Pengertian Tingkat Kesehatan Bank
• Penilaian terhadap Faktor CAMELS
• Beberapa Istilah Rasio Keuangan Faktor 
  CAMELS
• Penentuan Peringkat Komposit (PK)
  Permintaan Action Plan Langkah Perbaikan
• Penilaian terhadap Kantor Cabang Bank Asing



PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK

Berdasarkan Peraturan Gubernur Bank Indonesia Nomor 6/10/2004 Tahun 2004 mengenai tingkat kesehatan perbankan adalah hasil penilaian kualitatif atas beberapa aspek yang ebrpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu bank melalui penilaian kualitatif maupun penilaian kuantitatif terhadap factor-faktor penilaian tingkat kesehatan bank.


Penilaian kuantitatif adalah penilaian terhadap posisi, perkembangan, dan proyeksi rasio-rasio keuangan bank.
Penilaian kualitatif berkaitan dengan peniaian terhadap factor-faktor yang mendukung hasil penilaian kuantitatif, penerapan manajemen resiko, dan kepatuhan bank.


Kesehatan atau kondisi keuangan dan non keuangan Bank merupakan kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik, pengelola (manajemen) Bank, masyarakat pengguna jasa Bank, Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan Bank, dan pihak lainnya. Kondisi Bank tersebut dapat digunakan oleh pihak-pihak tersebut untuk mengevaluasi kinerja Bank dalam menerapkan prinsip kehati-hatian, kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku dan manajemen risiko.


Perkembangan industri perbankan, terutama produk dan jasa yang semakin kompleks dan beragam akan meningkatkan eksposur risiko yang dihadapi Bank. Perubahan eksposur risiko Bank dan penerapan manajemen risiko akan mempengaruhi profil risiko Bank yang selanjutnya berakibat pada kondisi Bank secara keseluruhan.


Perkembangan metodologi penilaian kondisi Bank senantiasa bersifat dinamis sehingga sistem penilaian tingkat kesehatan Bank harus diatur kembali agar lebih mencerminkan kondisi Bank saat ini dan di waktu yang akan datang. Pengaturan kembali tersebut antara lain meliputi penyempurnaan pendekatan penilaian (kualitatif dan kuantitatif) dan penambahan faktor penilaian.


Bagi perbankan, hasil akhir penilaian kondisi Bank tersebut dapat digunakan sebagai salah satu sarana dalam menetapkan strategi usaha di waktu yang akan datang sedangkan bagi Bank Indonesia, antara lain digunakan sebagai sarana penetapan dan implementasi strategi pengawasan Bank. Agar pada waktu yang ditetapkan Bank dapat menerapkan sistem penilaian tingkat kesehatan Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, maka perbankan perlu melakukan langkah-langkah persiapan dalam menerapkan sistem tersebut.

Faktor Penilaian


Bank Indonesia dalam melakukan penilaian tingkat kesehatan bank menggunakan factor-faktor yang disebut CAMELS, sebagai berikut:


a).      Permodalan (capital)


b).      Kualitas asset (asset quality)


c).      Manajemen (management)


d).     Rentabililtas (earning)


e).     Likuditas (liquidity)


f).     Sensitivitas terhadap resiko pasar
         (sensitivity to market risk)

a. Permodalan (Capital)


Kekurangan modal merupakan gejala umum yang dialami bank-bank di negara-negara berkembang. Kekurangan modal tersebut dapat bersumber dari dua hal, yang pertama adalah karena modal yang jumlahnya kecil, yang kedua adalah kualitas modalnya yang buruk. Dengan demikian, pengawas bank harus yakin bahwa bank harus mempunyai modal yang cukup, baik jumlah maupun kualitasnya. Selain itu, para pemegang saham maupun pengurus bank harus benar-benar bertanggung jawab atas modal yang sudah ditanamkan.


Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor permodalan antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
1) kecukupan pemenuhan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) terhadap ketentuan yang berlaku atau Capital Adequacy Ratio (CAR)


2) Trend rasio KPMM dan atau presentasi pertumbuhan modal dibandingkan dengan presentasi pertumbuhan ATMR


3) APYD adalah aktiva produktif, baik yang sudah maupun yang mengandung potensi tidak memberikan penghasilan atau menimbulkan kerugian. Bersarnya ditetapkan sebagai berikut:

~ 25% dari Aktiva Produktif, digolongkan
    sebagai Perhatian Khusus (Special Mention).
~ 50% dari Aktiva Produktif, digolongkan
    sebagai Kurang Lancar (Substandard).
~  75% dari Aktiva Produktif, digolongkan
    sebagai Diragukan (Doubtful).
~ 100% dari Aktiva Produktif, digolongkan
     sebagai Macet (Loss).


4) Kemampuan Bank memelihara kebutuhan penambahan modal yang berasal dari keuntungan (laba ditahan)


5) akses kepada sumber permodalan dan kinerja keuangan pemegang saham untuk meningkatkan
permodalan Bank.


b. Kualitas Aset (Asset Quality)


Dalam kondisi normal sebagian besar aktiva suatu bank terdiri dari kredit dan aktiva lain yang dapat menghasilkan atau menjadi sumber pendapatan bagi bank, sehingga jenis aktiva tersebut sering disebut sebagai aktiva produktif. Dengan kata lain, aktiva produktif adalah penanaman dana Bank baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, piutang, surat berharga, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, komitmen dan kontijensi pada transaksi rekening administratif. Di dalam menganalisis suatu bank pada umumnya perhatian difokuskan pada kecukupan modal bank karena masalah solvensi memang penting. Namun demikian, menganalisis kualitas aktiva produktif secara cermat tidaklah kalah pentingnya. Kualitas aktiva produktif bank yang sangat jelek secara implisit akan menghapus 5 modal bank. Walaupun secara riil bank memiliki modal yang cukup besar, apabila kualitas aktiva produktifnya sangat buruk dapat saja kondisi modalnya menjadi buruk pula. Hal ini antara lain terkait dengan berbagai permasalahan seperti pembentukan cadangan, penilaian asset, pemberian pinjaman kepada pihak terkait, dan sebagainya.


Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor kualitas asset antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:


~ aktiva produktif yang diklasifikasikan
    dibandingkan dengan total aktiva produktif.

~ debitur inti kredit di luar pihak terkait
    dibandingkan dengan total kredit.
~ perkembangan aktiva produktif bermasalah/
    non performing asset dibandingkan dengan 
    aktiva produktif.
~ tingkat kecukupan pembentukan penyisihan 
    penghapusan aktiva produktif (PPAP).

~ kecukupan kebijakan dan prosedur aktiva

    produktif.
~ sistem kaji ulang (review) internal terhadap  
    aktiva produktif.

~ dokumentasi aktiva produktif dan kinerja
   penanganan aktiva produktif bermasalah.


c. Manajemen (Management)


Manajemen atau pengelolaan suatu bank akan menentukan sehat tidaknya suatu bank. Mengingat hal tersebut, maka pengelolaan suatu manajemen sebuah bank mendapatkan perhatian yang besar dalam penilaian tingkat kesehatan suatu bank diharapkan dapat menciptakan dan memelihara kesehatannya.


Penilaian faktor manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan bank umum dilakukan dengan melakukan evaluasi terhadap pengelolaan terhadap bank yang bersangkutan. Penilaian tersebut dilakukan dengan mempergunakan sekitar seratus kuesioner yang dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu kelompok manajemen umum dan kuesioner manajemen risiko. Kuesioner kelompok manajemen umum selanjutnya dibagi ke dalam sub kelompok pertanyaan yang berkaitan dengan strategi, struktur, sistem, sumber daya manusia, kepemimpinan, budaya kerja. Sementara itu, untuk kuesioner manajemen risiko dibagi dalam sub kelompok yang berkaitan dengan risiko likuiditas, risiko pasar, risiko kredit, risiko operasional, risiko hukum dan risiko pemilik dan pengurus.


Penilaian terhadap faktor manajemen antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:


1)      manajemen umum.


2)      penerapan sistem manajemen risiko dan


3)      kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang
          berlaku serta komitmen kepada Bank
          Indonesia dan atau pihak lainnya.


d. Rentabilitas (Earnings)


Salah satu parameter untuk mengukur tingkat kesehatan suatu bank adalah kemampuan bank untuk memperoleh keuntungan. Perlu diketahui bahwa apabila bank selalu mengalami kerugian dalam kegiatan operasinya maka tentu saja lama kelamaan kerugian tersebut akan memakan modalnya. Bank yang dalam kondisi demikian tentu saja tidak dapat dikatakan sehat.


Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor rentabilitas antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut :


1)      Return on Assets (ROA);


2)      Return on Equity (ROE);


3)      Net Interest Margin (NIM);


4)      Biaya Operasional dibandingkan dengan
          Pendapatan Operasional (BOPO);


5)      Perkembangan laba operasional;


6)      Komposisi portofolio aktiva produktif dan
         diversifikasi pendapatan;


7)      Penerapan prinsip akuntansi dalam
          pengakuan pendapatan dan biaya dan
          Prospek laba operasional.



PENILAIAN TERHADAP CAMELS


Faktor penilaian kesehatan berdasarkan metode CAMELS 


Penilaian tingkat kesehatan bank dimaksudkan untuk menilai keberhasilan perbankan dalam perekonomian Indonesia dan industri perbankan serta dalam menjaga fungsi intermediasi. Pada krisis ekonomi global, bank-bank menengah dan kecil yang tidak menerima bantuan likuiditas dari pemerintah mengalami penurunan dana simpanan masyarakat. Menurunnya dana simpanan masyarakat membuat industri perbankan berusaha mempertahankan dana-dana yang mereka miliki untuk menjaga likuiditas bank dengan cara memberikan tingkat suku bungan yang tinggi.


Bank Indonesia menilai tingkat kesehatan bank dengan menggunakan pendekatan kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi suatu bank. Metode atau cara penilaian tersebut kemudian dikenal dengan metode CAMELS yaitu Capital, Asset quality, Management, Earnings, Liquidity, dan Sensitivity to Market Risk. Kriteria sensitivity to market risk merupakan aspek tambahan dari metode penilaian kesehatan bank yang sebelumnya, yaitu CAMEL. CAMEL pertama kali diperkenalkan di Indonesia sejak dikeluarkannya Paket Februari 1991 mengenai sifat-sifat kehati-hatian bank. Paket tersebut dikeluarkan sebagai dampak kebijakan Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 1988). CAMEL berkembang menjadi CAMELS pertama kali pada tanggal 1 Januari 1997 di Amerika. CAMELS berkembang di Indonesia pada akhir tahuan 1997 sebagai dampak dari krisis ekonomi dan moneter.

Analisis CAMELS digunakan untuk menganalisis dan mengevaluasi kinerja keuangan bank umum di Indonesia. Analisis CAMELS diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 perihal sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Penilaian tingkat kesehatan bank berdasarkan ketentuan Bank Indonesia mencakup penilaian terhadap faktor-faktor CAMELS yang terdiri dari :


a. Permodalan (Capital)
Penilaian terhadap faktor permodalan meliputi komponen-komponen berikut ini :
1)   Kecukupan modal
2)   Komposisi modal
3)   Proyeksi (trend ke depan) permodalan
4)   Kemampuan modal dalam mengcover aset
      bermasalah
5)   Kemampuan bank yang bersangkutan memelihara kebutuhan tambahan modal yang berasal dari laba
6)   Rencana permodalan untuk mendukung pertumbuhan usaha, dan
7)   Akses kepada sumber permodalan dan kinerja keuangan pemegang saham untuk meningkatkan permodalan bank yang bersangkutan.


b. Kualitas aset (Asset quality)
Penilaian kualitas aset meliputi penilaian atas komponen-komponen berikut ini :
1)   Kualitas aktiva produktif
2)   Konsentresi eksposur risiko kredit
3)   Perkembangan risiko kredit bermasalah
4)   Kecukupan PPAP (Penyisihan
      Penghapusan Aktiva Produktif)
5)   Kecukupan kebijakan dan prosedur
6)   Sistem kaji ulang (review) internal
7)   Sistem dikomentasi dan kinerja
       penanganan aktiva produktif bermasalah


c. Manajemen (Management)
Penilaian terhadap faktor manajemen meliputi penilaian atas komponen-komponen berikut ini :
1)   Kualitas manajemen umum dalam
      penerapan manajemen risiko.
2)   Keputusan bank atas ketentuan yang 
      berlaku dan komitmen kepada bank
      Indonesia dan atau pihak lain.


d. Rentabilitas (Earning)
Penilaian terhadap faktor rentabilitas meliputi penilaian atas komponen-komponen berikut ini :
1)   Pencapaian return on asset (ROA)
2)   Pencapaian return on equity (ROE)
3)   Pencapaian NIM (Net Interest Margin)
4)   Tingkat efisiensi
5)   Perkembangan laba operasional
6)   Diversifiksi pendapatan
7)   Penerapan prinsip akuntansi dan
       pengakuan pendapatan dan biaya
8)   Prospek laba operasional


e. Likuiditas (Liquidity)
Penilaian terhadap faktor likuiditas meliputi penilaian atas komponen-komponen berikut ini :
1)   Rasio aktiva/pasiva yang likuid
2)   Potensi maturity mismatch
3)   Kondisi loan to deposit ratio (LDR)
4)   Proyeksi cash flow (arus kas)
5)   Konsentresi pendanaan
6)   Kecukupan kebijakan dan pengelolaan likuiditas (assets and liability management)
7)   Akses kepada sumber pendanaan
8)   Stabilitas pendanaan


f. Sensitivitas terhadap risiko pasar (Sensitivity to Market Risk)
Penilaian sensitivitas terhadap risiko pasar meliputi :
1)   kemampuan modal bank dalam meng-
      cover potensi kerugian sebagai akibat
      fluktuasi (adverse movement) suku bunga
      dan nilai tukar.
2)   kecukupan penerapan manajemen risiko
      pasar.

Teknik penilaian dengan metode CAMELS
Penilaian tingkat kesehatan bank di Indonesia sampai saat ini secara garis besar didasarkan pada faktor CAMEL. Seiring dengan penerapan risk based supervision, penilaian tingkat kesehatan juga memerlukan penyempurnaan. Saat ini BI tengah mempersiapkan penyempurnaan sistem penilaian bank yang baru, yang memperhitungkan sensitivity to market risk atau risiko pasar.

Sebagai contoh, suatu bank yang mengalami masalah likuiditas (meskipun bank tersebut modalnya cukup, selalu untung, dikelola dengan baik, kualitas aktiva produktifnya baik) maka apabila permasalahan tidak segera dapat diatasi maka dapat dipastikan bank tersebut akan menjadi tidak sehat. Pada waktu terjadi krisis perbankan di Indonesia sebetulnya tidak semua bank dalam kondisi tidak sehat, tetapi karena terjadi rush dan mengalami kesulitan likuiditas, maka sejumlah bank yang sebenarnya sehat menjadi tidak sehat.


Beberapa Istilah Rasio Keuangan Faktor CAMELS


Berikut ini penjelasan metode CAMEL  :


1.  Capital

Kekurangan modal merupakan gejala umum yang dialami bank-bank di negara-negara berkembang. Kekurangan modal tersebut dapat bersumber dari dua hal, yang pertama adalah karena modal yang jumlahnya kecil, yang kedua adalah kualitas modalnya yang buruk. Dengan demikian, pengawas bank harus yakin bahwa bank harus mempunyai modal yang cukup, baik jumlah maupun kualitasnya. Selain itu, para pemegang saham maupun pengurus bank harus benar-benar bertanggungjawab atas modal yang sudah ditetapkan.
Pada saat ini persyaratan untuk mendirikan bank baru memerlukan modal disetor sebesar Rp. 3 trilyun. Namun bank-bank yang saat ketentuan tersebut diberlakukan sudah berdiri jumlah modalnya mungkin kurang dari jumlah tersebut. Pengertian kecukupan modaltersebut tidak hanya dihitung dari jumlah nominalnya,tetapi juga dari rasio kecukupan modal, atau yang sering disebut sebagai Capital Adequency Ratio (CAR). Rasio tersebut merupakan perbandingan antara jumlah modal dengan aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). Pada saat ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku, CAR suatu bank sekurang-kurangnya sebesar 8%.

2.  Assets Quality

Dalam kondisi normal sebagian besar aktiva suatu bank terdiri dari kredit dan aktiva lain yang dapat menghasilkan atau menjadi sumber pendapatan bagi bank, sehingga jenis aktiva tersebut sebagai aktiva produktif. Dengan kata lain, aktiva produktif adalah penanaman dana Bank baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, piutang, surat berharga, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, komitmen dan kontijensi pada transaksi rekening administratif. Di dalam menganalisis suatu bank pada umumnya perhatian difokuskan pada kecukupan modal bank karena masalah solvensi memang penting. Namun demikian, menganalisis kualitaas aktiva produktif secara cermat tidaklah kalah pentingnya. Kualitasa aktiva produktif bank yang sangat jelek secara implisit akan menghapus modal bank.
Walaupun secara riil bank memiliki modal yang cukup besar, apabila kualitaas aktiva produktifnya sangat buruk dapat saja kondisi modalnya menjadi buruk pula. Hal ini antara lain terkait dengan berbagai permasalahan seperti pembentukan cadangan, penilaian asset,pemberian pinjaman kepada pihak terkait, dan sebagainya. Penilaian terhadap kualitas aktiva produktif di dalam ketentuan perbankan di indonesia didasarkan pada dua rasio yaitu:

1)   Rasio Aktiva Produktif diklasifikasikan terhadap Aktiva Produktif (KAP 1).
Aktiva produktif diklasifikasikan menjadi Lancar, kurang lancar, Diragukan dan Macet. Rumusnya adalah:
Penilaian rasio KAP dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a)    Untuk rasio sebesar 15,5% atau lebih diberi
       nilai kredit 0.
b)   Untuk setiap penurunan 0,15% mulai dari
       15,49% nilai kredit ditambah 1 dengan
       maksimum 100.

2)   Rasio Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif terhadap Aktiva Produktif yang diklasifikasikan (KAP 2). Rumusnya adalah:
Penilaian rasio KAP untuk perhitungan PPAP dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut untuk rasio 0% diberi nilai kredit 0 dan untuk setiap kenaikan 1% dari 0% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100.


3. Management

Manajemen atau pengelolaan suatu bank akan menentukan sehat tidaknya suatu bank. Mengingat hal tersebut, maka pengelolaan suatu menejemen sebuah bank mendapatkan perhatian yang besar dalam peneliaian tingkat kesehatan suatu bank diharapkan dapat menciptakan dan memelihara kesehatannya.
Penilaian faktor menejemen dalam penilaian tingkat kesehatan bank umum dilakukan dengan melakukan evaluasi terhadap pengelolaan terhaadap bank yang bersangkutan. Penilaian tersebut dilakukan dengan mempergunakan sekitar seratus kuesioner yang dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu kelompok menejemen umum dan kuesioner menejemen risiko. Kuesioner kelompok menejemen umum selanjutnya dibagi ke dalam sub kelompok pertanyaan yang berkaitan dengan strategi, struktur, sistem, sumber daya manusia, kepemimpinan, budaya kerja. Sementara itu, untuk kuesioner menejemen risiko dibagi dalam sub kelompok yang berkaitan dengan risiko likuiditas, risiko pasar, risiko kredit, risiko operasional, risiko hukum dan risiko pemilik dan pengurus.

4. Earning

Salah satu parameter untuk mengukur tingkat kesehatan suatu bank adalah kemampuan bank untuk memperoleh keuntungan. Perlu diketahui bahwa apabila bank selalu mengalami kerugian dalam kegiatan operasinya maka tentu saja lama kelamaan kerugian tersebut akan memakan modalnya. Bank yang dalam kondisi demikian tentu saja tidak dapat dikatakan sehat. Penilaian didasarkan kepada rentabilitas atau earning suatu bank yaitu melihat kemampuan suatu bank dalam menciptakan laba.

Penilaian dalam unsur ini didasarkan pada dua macam, yaitu :

1). Rasio Laba terhadap Total Assets (ROA / Earning 1).
Rumusnya adalah : Penilaian rasio earning 1 dapat dilakukan sebagai berikut untuk rasio 0 % atau negatif diberi nilai kredit 0, dan untuk setiap kenaikan 0,015% mulai dari 0% nilai kredit ditambah dengan nilai maksimum 100.

2). Rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (Earning 2). Rumusnya adalah : Penilaian earning 2 dapat dilakukan sebagai berikut untuk rasio sebesar 100% atau lebih diberi nilai kredit 0 dan setiap penerunan sebesar 0,08% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100.

5.  Liquidity

Penilaian terhadap likuiditas dilakukan dengan nilai dua buah rasio, yaitu rasio Kewajiban Bersih Antar Bank terhadap Modal inti dan rasio kredit terhadap dana yang diterima oleh Bank yang dimaksud Kewajiban Bersih Antar Bank adlah selisih antara kewajiban bank dengan tagihan kepada bank lain. Sementara itu yang termasuk Dana yang Diterima adalah Kredit Likuiditas Bank Indonesia, Giro, Deposito, dan Tabungan Masyarakat, Pinjaman bukan dari bsnk yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan (tidak termasuk pinjaman subordina), Deposito dan Pinjaman dari bank lain yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan, dan surat berharga yang diterbitkan oleh bank yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan.Liquidity yaitu rasio untuk menilai likuiditas bank. Penilaian likuiditas bank didasarkan atas dua maca rasio, yaitu :


1). Rasio jumlah kewajiban bersih call money terhadap Aktiva Lancar. Rumusnya adalah :
Penilaian likuiditas dapat dilakukan sebagai berikut untuk rasio sebesar 100% atau lebih diberi nilai kredit 0, dan untuk setiap penurunan sebesar 1% mulai dari nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100.


2). Rasio antara Kredit terhadap dana yang diterima oleh bank. Rumusnya adalah :
Penilaian likuiditas 2 dapat dilakukan sebagai berikut untuk rasio 115 atau lebih diberi nilai kredit 0 dan untuk setiap penurunan 1% mulai dari rasio 115% nilai kredit ditambah 4 dengan nilai maksimum 100. Tingkat kesehatan bank umum bisa dilihat dari dua sisi yaitu kualitatif dan kuantitatif. 


Dari sisi kualitatif dilihat dari pengelolanya, sejarahnya, pemiliknya. Sisi kuantitatif dapat dilihat dari rasio likuiditas, solvabilitas, rentabilitas, kecukupan modal (capital adequency ratio) dan Loan Deposit Ratio.


a.  Rasio Likuiditas
Rasio ini menuunjukkan kemampuan bank dalam mengembalikan (membayar) hutang jangka pendek.


b. Rasio solvabilitas
Rasio solvabilitas menunjukkan kemampuan bank dalam mengembalikan (membayar) utang jangka panjang.


c. Rasio profitabilitas
Rasio profitabilitas menunjukkan kemampuan bank dalam menghasilkan laba. Ada dua pendekatan yang bisa digunakan untuk mengetahui ukuran ini :

  * Return on Asset (ROA)
     ROA mengukur kemampuan bank untuk   
     menghasilkan laba dengan membagi laba
     sebelum pajak dengan aktiva.

  *  Return on Equity   (ROE)
      ROE mengukur kemampuan bank untuk
      menghasilkan laba dengan
      membandingkan laba sebelum pajak
     dengan equity.


d. Capital Adequency Ratio (CAR)
CAR mengukur kecukupan modal dengan membandingkan kcapital (modal) dengan asset berisiko.
modal


e.  Loan Deposit ratio (LDR)
LDR mengukur kemampuan bank dalam mengelola dana dengan membandingkan besarnya pinjaman yang diberikan oleh bank dengan besarnya simpanan.


Penentuan Peringkat Komposit (PK)


Untuk penetapan peringkat setiap komponen dilakukan perhitungan dan analisis dengan mempertimbangkan indikator pendukung dan atau pembanding yang relevan dengan mempertimbangkan unsur judgement yang didasarkan atas materialitas dan signifikansi dari setiap komponen yang dinilai.


Berdasarkan hasil penetapan peringkat setiap faktor ditetapkan Peringkat Komposit (composite rating) sebagai berikut:


Peringkat Komposit 1 PK-1


Peringkat Komposit 2 PK-2


Peringkat Komposit 3 PK-3


Peringkat Komposit 4 PK-4


Peringkat Komposit 5 PK-5


a. Peringkat Komposit 1 PK-1

Peringkat Komposit 1 mencerminkan kondisi Bank yang secara umum sangat sehat, sehingga dinilai sangat mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya tercermin dari peringkat faktor-faktor penilaian, antara lain profil Risiko, penerapan prinsip Good Corporate Governance, rentabilitas, dan permodalan yang secara umum sangat baik. Apabila terdapat kelemahan maka secara umum kelemahan tersebut tidak signifikan.

b. Peringkat Komposit 2 PK-2

Peringkat Komposit 2 mencerminkan kondisi Bank yang secara umum sehat, sehingga dinilai mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya tercermin dari peringkat faktor-faktor penilaian, antara lain,profil Risiko, penerapan Good Corporate Governance, rentabilitas, dan permodalan yang secara umum baik. Apabila terdapat kelemahan maka secara umum kelemahan tersebut kurang signifikan.


c. Peringkat Komposit 3 PK-3

Peringkat Komposit 3 mencerminkan kondisi Bank yang secara umum cukup sehat, sehingga dinilai cukup mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya tercermin dari peringkat faktor-faktor penilaian, antara lain profil Risiko, penerapan Good Corporate Governance, rentabilitas, dan permodalan yang secara umum cukup baik. Apabila terdapat kelemahan maka secara umum kelemahan tersebut cukup signifikan dan apabila tidak berhasil diatasi dengan baik oleh manajemen dapat mengganggu kelangsungan usaha Bank.


d. Peringkat Komposit 4 PK-4

Peringkat Komposit 4 mencerminkan kondisi Bank yang secara umum kurang sehat, sehingga dinilai kurang mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya tercermin dari peringkat faktor-faktor penilaian, antara lain profil Risiko, penerapan Good Corporate Governance, rentabilitas, dan permodalan yang secara umum kurang baik. Terdapat kelemahan yang secara umum signifikan dan tidak dapat diatasi dengan baik oleh manajemen serta mengganggu kelangsungan usaha Bank.

e. Peringkat Komposit 5 (PK-5)


mencerminkan bahwa Bank tergolong tidak baik dan sangat sensitif terhadap pengaruh negatif kondisi perekonomian dan industri keuangan serta mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya.


Permintaan Action Plan dan Langkah Perbaikan


Rencana yang mau dilakukan atau lebih dikenal dengan action plan diperlukan untuk dapat memetakan apa yang harus dilakukan demi mencapai target yang telah ditetapkan. Sebelum menyusun action plan, ada beberapa hal penting dan mendasar yang perlu dipahami.yaitu :


1. Target


Target adalah suatu sasaran yang ingin dicapai, di mana sasaran tersebut belum pernah dicapai sebelumnya. Misalnya pencapaian sales tahun 2016 adalah 3 miliar, maka target sales pada tahun 2017 diharapkan meningkat 20% menjadi 3,6 miliar.


2. Mempelajari konsep perubahan


Jika kita mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka kita akan mendapatkan hasil yang sehari-hari Atau kita mendapatkan hasil yang lebih buruk dari pencapaian sebelumnya, diakibatkan adanya perubahan pada faktor internal atau eksternal seperti:

~ Tren yang sudah berubah, 
~ kompetitor yang semakin banyak
~ Pelanggan yang semakin kritis
~ Mesin yang semakin aus
~ Pergantian orang, dan
~ adanya orang baru


Kalaupun kita mengerjakan pekerjaan rutin tetapi target tercapai, sesungguhnya pencapaian target tersebut lebih karena ”by accident” bukan ”by design”, misalnya:
Kenaikan penjualan sejalan dengan kenaikian pertumbuhan ekonomi,Permintaan meningkat karena daya beli masyarakat membaik, atau karena trend terhadap produk yang dijual membaik.


Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka ada persyaratan penting pada action plan yang harus dipenuhi:


Action plan bukan penjabaran target. Misalnya target sales 3,6 miliar, maka action plan-nya adalah target divisi A adalah 2 miliar, target divisi B adalah 1,6 miliar


Action plan bukan berisi pekerjaan rutin, pekerjaan yang sehari-hari sudah dilakukan. Misalnya memonitor pencapaian sales tiap bulan, mengunjungi pelanggan setiap 6 bulan sekali padahal sudah rutin dilakukan, melakukan meeting koordinasi, melakukan audit ISO 9001 setiap 6 bulan, membahas setiap claim yang masuk, dan tugas lainnya yang bersifat rutinitas.


Action Plan adalah aktivitas kerja baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Action plan juga bisa berupa program improvement yang belum pernah dilakukan sebelumnya untuk mengatasi kelemahan sistem yang ada. masalah terbesar dari suatu perusahaan dalam menjalankan suatu action plan adalah:


Kekurang pahaman akan konsep, tidak ada pemisahaan antara pekerjaan rutin dengan action plan.

Banyak perusahaan yang terjebak dengan rutinitas, sehingga tidak ada waktu untuk mengerjakan suatu action plan. Perusahaan terjebak dengan rutinitas dikarenakan beberapa hal seperti:

* Untuk mengerjakan pekerjaan rutin saja,   
   waktunya sudah tidak cukup (sudah pulang  
   malam).


* Pekerjaan rutin tidak bisa ditunda sedangkan
   activity plan bisa ditunda, akhirnya prioritas
   jatuh pada pekerjaan rutin.


Kurang orang dan lain sebagainya


Banyak Manajemen yang terjebak pada pencapaian hasil (pencapaian target) bukan pada cara untuk mencapai target tersebut (action plan). Setiap kali meeting hanya difokuskan pada pencapaian hasil atau target. Kurang memonitor pelaksanaan action plan sebagai penyebab tidak tercapainya target yang telah ditetapkan. Akibatnya, penekanan pada pentingnya action plan menjadi diabaikan karena tidak dikontrol oleh Manajemen.

BAB 5. 

PENUTUP


KATA-KATA BIJAK DARI PENULIS : 
"IYUS SARAGIH MANIHURUK “

"Tantangan yang kita hadapi hari ini
tidak dapat dipecahkan
dengan cara berpikir yang lalu."
Albert Einstein


"Untuk mencapai apa yang belum pernah
Anda capai sebelumnya,
Anda harus berpikir dengan cara
yang belum Anda pikirkan sebelumnya."
Anonim


"Laut yang tenang tidak pernah menghasilkan
pelaut yang tangguh."
Anonim


"Ketidakmungkinan sesungguhnya adalah
hal yang belum kita pelajari."
Charles W.Chesnutt


Terimah kasih, Semoga bermanfaat...!



Komentar